Tidak semua penderitaan terlihat.
Dan tidak semua pergumulan mental lahir dari peristiwa besar yang dramatis.
Banyak luka batin justru terjadi karena dipicu hal-hal yang tampak sepele, terlalu biasa, atau terlalu sering terjadi—hingga akhirnya kita sendiri tidak sadar bahwa luka itu sedang menggerogoti kesehatan mental kita perlahan-lahan.
![]() |
| Dua sahabat sedang berbagi cerita - ilustrasi foto: cdn.powerofpositivity.com |
Luka itu bisa muncul saat kamu ditolak, diabaikan, dibandingkan, atau dianggap tidak cukup. Bisa juga lahir dari kalimat yang tidak pernah diucapkan, perhatian yang tidak pernah diberikan, atau pengakuan yang tak kunjung datang. Tidak ada satu momen ledakan, tidak ada air mata di depan umum. Yang ada hanyalah rasa lelah yang menetap, pikiran yang semakin keras pada diri sendiri, dan perasaan kosong yang sulit dijelaskan. Inilah luka-luka yang jarang dibicarakan.
Dalam pengalaman banyak orang, kesehatan mental sering dipahami hanya ketika sudah berada di titik ekstrem: depresi berat, gangguan kecemasan, atau burnout total. Padahal, jauh sebelum itu, ada fase-fase sunyi yang luput dari perhatian—fase ketika seseorang masih berfungsi, masih bekerja, masih melayani, masih tersenyum, tetapi di dalam dirinya sedang terjadi erosi emosi secara perlahan.
Salah satu pemicu yang paling umum adalah pengalaman penolakan. Bukan semata-mata karena ditolak itu menyakitkan, tetapi karena penolakan sering kali membentuk narasi batin yang keliru: “Saya tidak cukup baik.” “Ada yang salah dengan diri saya.” “Saya memang tidak layak.” Dari titik inilah luka emosional mulai bertransformasi menjadi beban mental yang lebih dalam.
Pengalaman semacam ini pernah saya tuliskan sebelumnya ketika membahas bagaimana menghadapi sakit hati setelah ditolak. Di sana terlihat jelas bahwa luka emosional tidak berhenti pada perasaan sesaat, tetapi dapat memengaruhi cara seseorang memandang diri, masa depan, bahkan relasinya dengan Tuhan.
Masalahnya, luka-luka seperti ini jarang mendapat ruang untuk diungkapkan. Terutama dalam konteks iman, ada tekanan yang halus—bahkan tidak jarang tidak disadari—untuk selalu terlihat kuat, bersyukur, yang "normalnya" seseorang yang "rohani" dianggap tidak akan mengalami luka-luka itu. Akibatnya, banyak orang yang menekan emosi alih-alih memprosesnya. Mereka tidak sedang sembuh; mereka hanya sedang menunda. Di sinilah kesehatan mental menjadi isu yang tidak bisa dipisahkan dari kejujuran batin.
Alkitab tidak pernah menuntut umat Tuhan untuk meniadakan emosi. Mazmur penuh dengan ratapan. Para nabi bergumul dengan keputusasaan. Bahkan Yesus sendiri menangis, gelisah, dan merasa tertekan. Iman Kristen tidak mengajarkan kita untuk menyangkal luka, tetapi untuk membawanya ke hadapan Allah dengan jujur. Dengan melakukannya kita akan mendapat kekuatan dan pemulihan yang dari Tuhan.
Kesehatan mental, dalam terang iman, bukan soal menjadi kebal terhadap rasa sakit. Tapi proses belajar mengenali luka, jujur menerimanya, ya, saya sedang dalam pergumulan, dan berhenti menyalahkan diri atas hal-hal yang sering kali berada di luar kendali kita. Ini adalah perjalanan panjang, bukan resolusi instan.
Barangkali kamu tidak sedang berada dalam krisis besar. Kamu hanya merasa lebih cepat lelah, lebih sensitif, atau lebih sinis dari sebelumnya. Mungkin kamu masih berdoa, tetapi tanpa gairah. Masih melayani, tetapi tanpa sukacita. Masih percaya, tetapi dengan banyak pertanyaan yang tidak pernah diucapkan. Semua itu bukan tanda kegagalan iman. Bisa jadi itu tanda bahwa ada luka yang selama ini kamu simpan sendiri.
Dan justru di sanalah kesehatan mental perlu diperhatikan: bukan dengan menutup-nutupi, melainkan dengan keberanian untuk berkata, “Ada sesuatu di dalam diri saya yang belum selesai.”
Iman tidak memanggil kita untuk menjadi manusia tanpa luka. Iman memanggil kita untuk membawa luka itu ke hadapan Tuhan yang bekerja melalui proses, waktu, dan kasih karunia. Luka-luka yang tidak pernah dibicarakan tidak harus selamanya dipendam. Ketika diberi ruang, itu bisa menjadi pintu menuju pemulihan—bukan hanya secara mental, tetapi juga secara rohani.
Luka batin yang dipendam terlalu lama cenderung membesar di dalam keheningan. Karena itu, mencari satu orang yang dapat dipercaya untuk mendengarkan—bukan menghakimi, bukan tergesa memberi nasihat—bisa menjadi bagian penting dalam menjaga kesehatan mental.
Orang itu tidak harus banyak. Satu sahabat yang dewasa secara emosi, yang aman untuk kamu ajak bicara dengan jujur, sering kali sudah cukup untuk memecah kesunyian batin. Dalam banyak kasus, keberanian untuk berkata, “Saya tidak baik-baik saja,” justru menjadi awal pemulihan yang nyata.
Jika kamu belum memiliki orang seperti itu, iman memberi ruang untuk memulainya dari doa. Bukan doa yang menuntut jawaban cepat, melainkan doa yang jujur: meminta Tuhan menuntunmu kepada seseorang yang tepat—entah seorang sahabat, hamba Tuhan, konselor, atau profesional yang dapat dipercaya—yang bisa membantumu memproses luka dengan sehat dan bertanggung jawab. Tuhan sering bekerja melalui kehadiran orang lain, bukan hanya melalui keheningan pribadi.
Mencari pertolongan bukan tanda kelemahan iman. Dalam banyak hal, itu justru bentuk kerendahan hati: pengakuan bahwa kita adalah manusia yang membutuhkan penopang. Kesehatan mental tidak selalu dipulihkan melalui satu doa besar, tetapi sering melalui langkah-langkah kecil yang setia—bercerita, didengarkan, didoakan, dan ditemani dalam proses.
Bagaimana kamu menangani atau menjaga kesehatan mentalmu? Feel free to share pengalamanmu di kolom komentar. Bisa jadi cerita yang kamu bagikan menjadi berkat bagi orang lain. Terima kasih sudah membaca, tetap semangat, Tuhan Yesus memberkati.

Tidak ada komentar