Sepanjang tahun 2025, kemacetan di Manado bukan lagi peristiwa insidental. Kemacetan menjadi rutinitas harian yang kita harus hadapi. Pada jam-jam sibuk, wajah kota ini tampak tegang: kendaraan merayap, waktu terasa menguap di antara lampu merah yang terlalu lama menyala. Dari pengamatan lapangan yang konsisten—hampir setiap hari berada di jalan—ada satu kesan kuat: kemacetan ini bukan semata takdir kota yang bertumbuh, melainkan konsekuensi dari manajemen lalu lintas yang belum dimaksimalkan.
![]() |
| Gambaran kemacetan di jalan. ilustrasi gambar detikmanado.com |
Ambil contoh wilayah Kairagi, khususnya koridor Jalan A.A. Maramis yang menjadi pintu masuk utama dari arah Bitung dan Minahasa Utara. Di titik ini, ada setidaknya tiga simpul rawan macet yang saling berkelindan: akses keluar Ranomut melalui Jalan Lengkong Wuaya di depan Bosowa, persimpangan jembatan Kairagi, serta area SPBU Kairagi. Volume kendaraan tinggi bertemu dengan manuver keluar-masuk yang kompleks. Namun yang mencolok justru absennya pengaturan langsung di lapangan. Pada banyak hari, hampir tidak terlihat petugas yang secara aktif mengurai arus, padahal satu atau dua orang di jam puncak dapat membuat perbedaan signifikan.
Kondisi serupa juga terjadi di Winangun, Sario, dan Wanea. Persimpangan yang secara geometris sempit dipaksa menampung arus besar, diperparah oleh perilaku pengendara yang berhenti sembarang, dan saling serobot. Tanpa kehadiran petugas atau rekayasa sederhana yang konsisten, kemacetan menjadi efek berantai: satu titik tersendat, seluruh koridor ikut terkunci.
Pertanyaannya kemudian bukan apakah Manado membutuhkan solusi besar—jalan layang atau tol dalam kota seperti di Makassar. Itu mungkin perlu dalam jangka panjang, tetapi terlalu jauh untuk dijadikan alasan menunda tindakan hari ini. Yang lebih mendesak adalah memaksimalkan apa yang sudah ada: kehadiran petugas di titik rawan pada jam sibuk, pengaturan fase lampu lalu lintas yang adaptif, serta penegakan disiplin kepada yang melanggar aturan.
Kemacetan juga membawa biaya yang sering kita remehkan. Mari kita buat perhitungan sederhana. Misalkan satu pengendara mobil terjebak macet selama 30 menit. Dengan asumsi satu kendaraan menghabiskan sekitar 1 liter BBM per jam dalam kondisi merayap, maka 30 menit kemacetan setara dengan 0,5 liter BBM. Dengan harga BBM rata-rata Rp10.000 per liter, berarti Rp5.000 terbuang hanya untuk bahan bakar. Tambahkan biaya waktu. Jika kita menggunakan nilai waktu kerja yang konservatif, yakni Rp30.000 per jam, maka 30 menit bernilai Rp15.000. Artinya, satu kali macet selama setengah jam menggerus sekitar Rp20.000 per orang—Rp5.000 untuk BBM yang terbakar sia-sia, dan Rp15.000 untuk waktu produktif yang hilang.
Angka ini terlihat kecil jika dilihat per individu. Namun ketika ribuan kendaraan terjebak pada satu koridor di jam sibuk, kerugian ekonomi kolektifnya dengan mudah menembus ratusan juta rupiah per hari—uang yang menguap tanpa produktivitas, tanpa nilai tambah.
Kerugian itu belum menghitung stres, kelelahan, dan dampak tidak langsung pada keselamatan. Pengendara yang frustrasi cenderung mengambil risiko, mempersempit jarak aman, atau memaksakan diri di persimpangan. Dalam jangka panjang, ini bukan hanya soal keterlambatan, tetapi juga kualitas hidup kota.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyederhanakan persoalan atau menuding satu pihak. Namun ada satu catatan penting: sebelum berbicara tentang proyek besar dan mahal, ada ruang luas untuk perbaikan manajemen harian. Kehadiran Polisi dan petugas Dinas Pehubungan di titik-titik kritis secara konsisten—bukan hanya saat momen besar atau libur panjang—adalah langkah paling realistis dan berdampak cepat. Kota-kota lain menunjukkan bahwa pengaturan manual yang tepat di jam puncak mampu menurunkan antrean secara signifikan, bahkan tanpa perubahan fisik jalan. Apakah kita akan terus membiarkannya, atau mulai mengelola dengan serius apa yang sebenarnya masih bisa diatur hari ini.
Apa pendapatmu, apa solusi yang tepat untuk macet di Manado? Bagikan pendapatmu di kolom komentar. Terima kasih telah membaca.

Tidak ada komentar