Beranda
Kristen
Opini
Otomotif
Need For Christ: Bagaimana Seharusnya Cara Berkendara Orang Kristen?
Juni 19, 2025

Need For Christ: Bagaimana Seharusnya Cara Berkendara Orang Kristen?

I. Pengantar: Di Balik Setir, Terlihat Siapa Diri Kita Sebenarnya

Pernahkah Anda menyadari bahwa siapa diri kita yang sebenarnya bisa terlihat jelas—bukan hanya ketika kita berada di dalam komunitas gereja saja, melainkan dari tingkah laku kita sehari-hari. Bagaimana sikap kita saat berada di balik kemudi dapat mencerminkan karakter kita. Jalanan adalah panggung tempat karakter kita diuji, ketika menghadapi kemacetan, ketika kendaraan di belakang atau samping kita tiba-tiba membunyikan klakson panjang, mobil atau sepeda motor di samping tiba-tiba menyerobot jalur kita. Di sanalah kesabaran kita diuji, kasih kita diuji, pengendalian diri kita diuji.

ilustrasi: suasana di sebuah jalan yang padat. Gambar oleh Gemini AI

Di tempat saya tinggal, jalan raya kini seperti "jalan rimba". Dimana perilaku berkendara dari segelintir orang sangat tidak teratur, dan sering melanggar aturan. Bagi mereka Aturan tidak lagi berlaku dan yang berlaku adalah "siapa yang berani" atau "siapa yang duluan." Kendaraan saling serobot, dan lampu merah seolah hilang "harga diri" karena sering diterobos oknum pengendara. Juga ada fenomena kendaraan tanpa plat nomor kendaraan tapi bebas lalu lalang, serta oknum pengendara yang kerap melaju tanpa peduli marka dan peraturan lalu lintas. Ini ada masalah etika yang sudah sangat parah dalam keseharian kita.

Sebagai seorang Kristen, saya bertanya: apakah perilaku berkendara saya sudah mencerminkan iman saya? Apakah iman yang saya nyatakan di gereja juga nampak pada keseharian saya, bagaimana perilaku berkendara saya di jalan? Ini refleksi tentang hidup yang menyatu antara iman dan tindakan, karena saya hidup di kota Manado, yang terkenal dengan kota 1000 gereja, tapi perilaku berkendara orang-orang di jalan jauh dari karakter "orang-orang gereja." 

II. Keadaan di Lapangan: Lalu Lintas Tanpa Etika

Salah satu gambaran paling jelas dari krisis etika lalu lintas yang saya sendiri lihat di kota Manado, banyak pengendara motor maupun mobil mengabaikan aturan dengan sengaja. Tak jarang kita melihat kendaraan yang melaju tanpa plat nomor, baik di bagian depan maupun belakang. Pengendara yang menerobos lampu merah, dan merasa bangga. Pengendara sepeda motor yang merokok sementara berkendara, tanpa dia sadar, perilakunya bisa membahayakan pengendara lain di belakangnya. Marka jalan dan jalur lalu lintas hanya menjadi referensi visual, bukan pedoman yang ditaati. Bahkan, tidak sedikit kendaraan yang diparkir sembarangan, menutup akses jalan tanpa memikirkan dampaknya bagi orang lain.

Baca juga: Ancaman Pidana Bagi Pengendara yang Nekat Merokok di Jalanan

Fenomena ini menunjukkan pola pelanggaran yang telah menjadi bagian dari kebiasaan massal. Ketika pelanggaran tidak lagi dianggap salah, maka nilai-nilai etika pun perlahan luntur. Ini bukan sekadar masalah disiplin, tetapi panggilan untuk meninjau ulang kesadaran kolektif kita tentang tanggung jawab sosial dan integritas di ruang publik.

Situasi ini menunjukkan bahwa pelanggaran sudah bukan sekadar insiden, melainkan—maaf jika saya mengatakan bagian dari budaya. Kita melihat orang lain melanggar dan merasa sah untuk melakukan hal yang sama. Ketika semuanya dilakukan bersama-sama, kekacauan menjadi norma. Dan yang lebih menyedihkan: kita mulai menganggap itu hal biasa. Ini mencerminkan krisis etika berat. Etika yang tidak diajarkan dengan cukup kuat, atau bahkan dilupakan di tengah arus pragmatisme dan kecepatan hidup sehari-hari.

III. Analisa: Mengapa Ini Terjadi?

A. Faktor Eksternal

1. Minimnya pengawasan: 

Harus diakui, suka tidak suka, kebanyakan dari kita belum dewasa secara karakter, jadi kehadiran polisi masih sangat kita butuhkan untuk "menjaga kita" supaya tidak berbuat bodoh. Dan sayangnya, kehadiran polisi lalu lintas di titik-titik rawan (entah kenapa) makin jarang terlihat. Beberapa kawasan yang dulunya dijaga, kini sepi dari pengawasan. Pos-pos polisi di beberapa titik, seperti di SPBU Kairagi, pos Polisi di Patung Kuda Paal Dua, jarang ada anggota kepolisian terlihat berjaga. Padahal kedua titik itu merupakan titik rawan terjadi macet, karena adanya persimpangan jalan. Ini memberi ruang bagi pelanggaran tanpa rasa takut.  

2. Lemahnya penegakan hukum: 

Tilang elektronik (ETLE) memang sudah diberlakukan di sejumlah kota besar, namun belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Di kota Manado, sistem ini belum sepenuhnya berjalan, membuat pelanggaran lalu lintas seperti menerobos lampu merah atau tidak menggunakan helm sering kali tidak mendapat sanksi.

Dalam laporan Kompas.com (Mei 2025), Polda Metro Jaya mengakui adanya kendala dalam sistem ETLE, seperti notifikasi tilang yang gagal dikirim karena data kendaraan yang tidak akurat. Akibatnya, banyak pelanggar yang tidak menyadari telah melanggar, sehingga tidak ada efek jera yang efektif.

Selain itu, Tempo.co (April 2024) mencatat banyak keluhan dari masyarakat soal salah sasaran tilang dan antrean panjang di pos klarifikasi, menandakan sistem yang belum matang. Pada saat yang sama, Kepolisian mencatat lebih dari 400 ribu pelanggaran lalu lintas terekam kamera ETLE nasional selama tahun 2023. Tingginya angka ini menunjukkan bahwa meskipun sistemnya bekerja, penindakannya belum mampu mengubah perilaku secara signifikan.

Kondisi ini mencerminkan bukan hanya kelemahan sistem, tetapi juga menunjukkan bahwa efek jera belum terbentuk karena proses penegakan yang tidak konsisten dan belum menyentuh akar masalah: Kesadaran pengguna jalan.

3. Ledakan jumlah kendaraan: 

Infrastruktur belum sebanding dengan pertumbuhan kendaraan bermotor. Ruas jalan tetap sama, tapi jumlah pengguna jalan meningkat drastis. Ini menimbulkan frustasi, dan frustasi itu dilampiaskan dalam bentuk pelanggaran.

Baca juga: Toyota Hilux: Dari Sejarah Hingga Kehebatan Sang Legenda Tangguh

B. Faktor Internal

1. Budaya permisif: 

Ketika semua orang melanggar, siapa yang mau taat? Inilah realita yang pelan-pelan membentuk cara berpikir masyarakat kita. Ketika seorang pengendara melihat yang lain menerobos lampu merah atau parkir sembarangan tanpa konsekuensi, ia terdorong melakukan hal yang sama. Dalam psikologi sosial, ini dikenal sebagai 'normalisasi perilaku menyimpang'—ketika sesuatu yang awalnya dianggap salah, karena sering dilakukan, akhirnya dianggap wajar.

Di titik inilah, ketaatan kehilangan nilainya. Ia bukan lagi sesuatu yang dihargai, melainkan sesuatu yang dianggap bodoh, kuno, atau bahkan merepotkan. Dalam konteks iman Kristen, ini berbahaya. Sebab nilai ketaatan, baik terhadap Allah maupun hukum manusia yang sah, adalah fondasi dari kesaksian hidup yang sejati. Ketika pelanggaran menjadi norma, maka nurani pun perlahan mati, dan masyarakat kehilangan arah moral.

Baca juga: Integritas dan Spiritualitas Kristen Dalam Bekerja

2. Sikap memberontak terhadap otoritas: 

Dalam hati manusia berdosa, ada kecenderungan alami untuk menolak aturan dan membenci pembatasan. Dorongan untuk merasa 'bebas' sering kali diterjemahkan sebagai kebebasan tanpa tanggung jawab. Dalam konteks lalu lintas, hal ini terlihat jelas: tidak mau diatur jalur, menolak rambu, dan menganggap aturan sebagai penghambat kecepatan.

Di sisi lain, ketidakpercayaan terhadap institusi seperti kepolisian atau pemerintah ikut memperkuat pemberontakan ini. Ketika ada oknum aparat tidak memberi teladan, atau ketika ada penegakan hukum dirasakan tidak adil dan tidak konsisten, masyarakat pun merasa berhak untuk tidak taat. Inilah akar dari budaya anarki kecil yang terjadi setiap hari di jalan raya.

Dari sudut pandang iman Kristen, ini bukan sekadar soal hukum manusia, tetapi cerminan dari kedegilan hati terhadap otoritas Allah sendiri. Ketika seseorang terus-menerus hidup dalam pemberontakan terhadap aturan publik, bisa jadi itu mencerminkan pola yang sama dalam sikap batinnya terhadap perintah Tuhan.

3. Kurangnya pendidikan karakter: 

Etika berlalu lintas bukan sekadar tahu peraturan, tapi soal kesadaran, tanggung jawab, dan hati nurani. Banyak orang tahu bahwa menerobos lampu merah itu salah, tapi tetap melakukannya karena tidak merasa bersalah. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan hukum tanpa pembentukan karakter tidak cukup.

Pendidikan karakter seharusnya dimulai sejak usia dini—baik di rumah, sekolah, maupun gereja. Anak-anak perlu belajar bahwa menghormati aturan adalah bagian dari menghargai sesama. Jika sejak kecil mereka hanya diajarkan cara mendapatkan hasil, tanpa nilai-nilai moral yang mendasari cara mencapainya, maka dalam konteks berkendara pun mereka akan mengutamakan kenyamanan pribadi di atas keselamatan bersama.

Ketiadaan pembiasaan etika dan tanggung jawab dalam keseharian membuat pelanggaran terasa seperti hak. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan masyarakat yang individualistik dan kehilangan empati, di mana aturan dianggap sebagai hambatan, bukan penjaga kebaikan bersama. Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk membentuk generasi yang bukan hanya cerdas, tapi juga berhikmat dalam hidup bersama, termasuk di jalan raya.

4. Mentalitas instan: 

Kita hidup di era serba cepat, di mana segala hal diukur dari kecepatan dan efisiensi. Kita ingin cepat sampai, tidak mau terjebak dalam antrian, dan merasa berhak untuk menyalip siapa saja yang memperlambat laju kita. Bahkan ketika tidak ada urgensi nyata, dorongan untuk menjadi 'yang pertama' sering kali mengalahkan akal sehat dan etika berkendara.

Sayangnya, mentalitas ini merasuki jalanan—tempat di mana seharusnya kesabaran, empati, dan kepedulian terhadap sesama justru dibutuhkan. Banyak orang memandang kesabaran sebagai kelemahan; padahal, dalam iman Kristen, kesabaran dan pengendalian diri adalah bagian dari buah-buah Roh (Galatia 5:22-23) dan cerminan dari kekuatan batin yang sejati. Kesabaran bukan pasif, melainkan aktif: menahan diri, memilih tidak membalas, dan memberi ruang bagi orang lain.

Mentalitas instan adalah cermin dari hati yang belum belajar menunggu dengan damai. Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk melawan arus ini dengan menumbuhkan budaya kasih dan kendali diri.

IV. Etika Kristen dan Perilaku Berkendara

Sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk hidup dalam ketaatan dan kasih — termasuk saat mengemudi.

  • Roma 13:1–5 mengingatkan kita untuk tunduk pada otoritas yang ditetapkan Allah, termasuk hukum lalu lintas. Menjadi pengendara yang taat adalah bagian dari ketaatan iman.

  • Matius 22:39 memanggil kita untuk mengasihi sesama. Mengemudi dengan santun adalah salah satu cara konkret menunjukkan kasih itu. Mengalah di simpang jalan, memberi ruang pada pengendara lain, itu juga bentuk kasih.

  • Galatia 5:22–23 menyebutkan buah Roh: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kebaikan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Apakah semua itu nyata ketika kita mengendarai motor atau mobil?

Etika berkendara adalah ujian iman yang nyata. Di tengah kemacetan, saat klakson panjang dari belakang atau samping membakar emosi, saat dikejar waktu, siapa kita sebenarnya akan terlihat. Apakah kita masih sabar? Apakah kita tetap lemah lembut?

Menurut saya, kendaraan bukan sekadar alat transportasi; kendaraan adalah ruang ujian yang bergerak. Di balik setir mobil atau stang sepeda motor, emosi kita diuji: apakah kita bisa menahan amarah ketika disalip dari sebelah kiri atau ada marka jalan garis tidak putus-putus tapi mobil di belakang ngotot mau menyalip kita? Apakah kita tetap sabar saat kemacetan membuat kita terlambat? Atau justru kita membiarkan emosi menguasai dan mempengaruhi cara kita memperlakukan sesama di jalan?

Dalam momen-momen seperti itu—ketika kita memilih untuk tidak membalas, mengalah meski punya hak jalan, atau memberi kesempatan bagi pejalan kaki—kita sedang mempraktekkan buah Roh: penguasaan diri. Etika Kristen bukan hanya soal prinsip besar dalam ibadah, tapi menyatu dalam tindakan sehari-hari. 

V. Dampak Sosial dan Moral

Perilaku sembrono di jalan tidak hanya membahayakan nyawa, tapi juga membentuk budaya permisif dan tidak bertanggung jawab.

  • Kecelakaan meningkat, tidak hanya merugikan pelaku, tetapi juga orang yang tak bersalah. Angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas menjadi salah satu yang tertinggi di Indonesia.

  • Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat, bukan dari apa yang kita katakan. Jika mereka melihat orang dewasa melanggar, maka mereka akan meniru tanpa merasa bersalah.

  • Kesaksian hidup bermasalah, ketika orang Kristen tidak bisa menunjukkan karakter Kristus dalam lalu lintas. Orang Kristen bisa menjadi batu sandungan bagi orang lain, hanya karena satu tindakan sembrono di jalan raya.

VI. Refleksi Pribadi: Saya Pun Sedang Belajar

Saya tidak menulis ini sebagai orang yang suci dan sudah sempurna. Saya juga manusia, dengan kelemahan dan kelalaian. Saya pernah menerobos lampu merah karena terburu-buru. Pernah tidak sabar dan membunyikan klakson panjang kepada pengendara di depan. Pernah marah sambil menurunkan kaca mobil dan berteriak kepada pengendara lain karena tidak tertib, saya juga pelaku. Setelah melakukan hal-hal tersebut, saya beberapa kali ditegur istri. Saya merasa malu bukan karena dilihat orang, tapi karena tahu bahwa saya sedang gagal menjadi saksi Kristus.

Karakter sejati seseorang sering kali terlihat ketika dia sedang berada di balik kemudi mobil atau sepeda motor. Saya masih terus belajar. Belajar untuk menahan diri. Belajar untuk mengalah. Belajar bahwa iman bukan hanya soal terlihat baik dan terlihat kudus, tapi juga soal kesadaran untuk menahan diri saat berkendara di jalan raya dengan semua dinamika yang akan terjadi. Menjadi orang Kristen tidak berhenti di komunitas gereja, tetapi terus berlanjut hingga keseharian kita, bagaimana kita berlaku.

Ketika memutuskan untuk membuat artikel ini, saya bertekad untuk lebih menguasai diri saat berada di balik kemudi.

VII. Penutup: Mari Berkendara Sebagai Terang Dunia

Jalan raya adalah ladang kesaksian yang luas. Kita mungkin tidak berkhotbah di atas mimbar, tapi cara kita membawa kendaraan kita adalah pesan yang dilihat banyak orang (2 Korintus 3:2-3). Bahkan lebih dari itu, cara kita berkendara adalah cara kita menyatakan siapa Tuhan yang kita sembah.

Katakan pada diri sendiri, segera hentikan budaya serobot dan egoisme. Mari kita bangun budaya baru: budaya kasih, budaya sabar, budaya hormat. Mulailah dari diri sendiri. Jadilah terang bahkan ketika Anda sedang di lampu merah. 

Mengemudi dan otomotif bukan hanya urusan teknis, tetapi juga spiritual. Saat Anda duduk di balik kemudi, tanyakan pada diri: Apakah saya mencerminkan Kristus hari ini? Bagi seorang murid Kristus, setiap aspek kehidupan adalah bagian dari proses pemuridan—termasuk cara kita memperlakukan sesama di jalan raya.

Pemuridan bukan hanya terjadi dalam ruang ibadah atau persekutuan dalam kelompok kecil, tapi dihidupi di jalan raya, di tengah kemacetan, saat kita mengalah, saat kita sabar. Dalam setiap keputusan kecil, kita sedang dibentuk menjadi serupa dengan Kristus. Dan di balik kemudi itu, kita sedang dilatih untuk menyalibkan keakuan dan membiarkan kasih Kristus yang mengemudikan kehidupan kita.

We need Christ! Beginilah seharusnya orang Kristen berkendara. Semoga Roh Kudus menolong kita, Kristus dimuliakan, dan berkat Allah Tritunggal menaungi hidup kita. Bagaimana menurut Anda, apakah setuju dengan saya, atau tidak? Bagikan pendapat Anda pada kolom komentar di bawah artikel ini. 

💡 Dukung Perjalanan Kami

CXF Digital adalah sebuah inisiatif independen yang sedang kami bangun dari nol—berangkat dari kerinduan untuk mengembangkan literasi digital di Sulawesi Utara dan Indonesia secara lebih luas. Kami adalah kreator konten digital dengan semangat inklusif yang berakar dari nilai-nilai Kristen, namun terbuka dan hadir untuk semua, tanpa sekat agama atau latar belakang.

Kami menggunakan teknologi AI untuk menghasilkan konten berkualitas yang membangun, mencerdaskan, dan memberdayakan. Namun, perjalanan ini tidak mudah. Kami membutuhkan dukungan—bukan hanya dalam bentuk apresiasi moral, tetapi juga partisipasi nyata.

Jika Anda tergerak untuk mendukung keberlanjutan blog dan pengembangan media digital kami, Anda dapat memberikan donasi melalui QRIS yang tertera di bagian akhir halaman ini. Dukungan Anda akan sangat berarti, bukan hanya untuk menutupi biaya operasional dan langganan teknologi, tetapi juga membuka harapan: kami berharap dapat mempekerjakan satu orang di tahap awal ini—sebuah langkah kecil namun berdampak besar di tengah sulitnya mencari pekerjaan saat ini.

Terima kasih telah menjadi bagian dari perjalanan ini. Setiap kontribusi adalah bentuk kepercayaan yang kami jaga dengan penuh tanggung jawab. 



Tidak ada komentar