Bagian 1 – Pendahuluan: Mengapa Topik Ini Penting?
Di tengah gempuran kemajuan teknologi yang terus melaju — dari kecerdasan buatan hingga internet kuantum — muncul pertanyaan yang jarang dibahas dalam ruang-ruang gereja maupun komunitas orang percaya: Di mana posisi iman Kristen dalam seluruh arus besar ini?
Dunia hari ini menyaksikan bagaimana kekuatan suatu bangsa tidak lagi hanya diukur dari jumlah tentaranya atau kekayaan alamnya, melainkan dari kecepatan inovasi dan kecanggihan teknologinya. Negara yang lebih unggul dalam menguasai data, memproduksi energi bersih, dan membangun sistem digital cerdas, dianggap sebagai pemimpin peradaban baru. Namun dalam keheningan ruang doa, di antara lembaran Alkitab yang kita baca, pertanyaan itu tetap bergema: Apa hubungan antara iman dan teknologi?
Pertanyaan ini tidak muncul begitu saja. Sebuah artikel yang terbit dalam buletin PILLAR, ditulis oleh Juan Intan Kanggrawan, menyodorkan perenungan tajam tentang bagaimana teknologi tak pernah bisa dipisahkan dari dinamika peradaban. Artikel tersebut membawa kita kembali pada akar sejarah — bukan sekadar ke Revolusi Industri, melainkan jauh lebih purba: kepada kisah Kejadian, tentang keturunan Kain yang mengembangkan perkemahan, peternakan, seni musik, bahkan logam dan besi (Kejadian 4:20–22). Sebuah ironi yang mengusik: bahwa mereka yang hidup di luar anugerah khusus Allah justru mencatatkan tonggak budaya manusia pertama.
Hal ini menggugah sebuah kesadaran: Bahwa perkembangan teknologi bukanlah barang netral. Ia dibentuk oleh manusia, dan dengan itu membawa nilai-nilai, arah, serta motivasi yang sangat manusiawi — bahkan sering kali sangat berdosa.
Namun, apakah itu berarti orang Kristen harus menjauh dari teknologi? Apakah kita hanya boleh berdiri di pinggir, menjadi penonton dari "kemajuan dunia"? Tentu tidak. Justru mandat budaya dari Tuhan kepada manusia dalam Kejadian 1:28 — untuk "menguasai bumi dan segala isinya" — adalah panggilan yang sangat berkaitan dengan teknologi. Teknologi adalah alat, sarana, hasil dari akal budi manusia yang diciptakan serupa dan segambar dengan Allah, Sang Pencipta Agung.
Kita tidak sedang menulis sejarah untuk mengenang masa lalu. Kita sedang menyusun ulang kesadaran kita sebagai umat Allah di abad ke-21, agar tetap setia dan relevan. Sebab jika gereja tidak tahu bagaimana menyikapi teknologi, kita akan tertinggal — bukan secara teknis, melainkan secara misi. Kita bisa kehilangan kesempatan untuk bersaksi di tengah dunia digital, kehilangan suara di tengah percakapan besar tentang masa depan umat manusia.
Melalui artikel ini, kita akan menyusuri jejak sejarah dan iman — melihat bagaimana nilai-nilai Kekristenan telah ikut mewarnai peradaban dunia, bagaimana iman justru mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, dan mengapa kita hari ini tetap dipanggil untuk ambil bagian dalam karya teknologi, bukan sebagai pemuja, tetapi sebagai penata layan.
Sebagaimana ditutup dalam artikel buletin PILLAR oleh Juan Intan Kanggrawan, dengan lirik lagu Be Thou My Vision, kiranya artikel ini menjadi seruan bagi kita semua: agar dalam segala hal, termasuk dalam urusan teknologi, Tuhan tetap menjadi harta dan visi utama kita. High King of Heaven, my treasure Thou art.
Bagian 2 – Teknologi: Sebuah Mandat Budaya Sejak Awal
Sebelum revolusi industri mengguncang dunia, bahkan sebelum manusia menemukan listrik atau mesin uap, Kitab Kejadian sudah mencatat benih dari apa yang kita kenal sebagai teknologi dan peradaban. Menariknya, catatan itu tidak datang dari garis keturunan yang "dianggap benar", melainkan dari Kain — orang pertama yang melakukan pembunuhan. Dari keturunan Kain, muncul tokoh-tokoh seperti Yabal, Yubal, dan Tubal-Kain: para pionir dalam bidang peternakan, seni musik, dan metalurgi (Kejadian 4:20–22).
Ini adalah fakta yang, bagi banyak orang percaya, bisa jadi membingungkan. Bagaimana bisa mereka yang berasal dari garis yang "dikutuk Tuhan" justru menjadi pelopor budaya? Mengapa bukan keturunan Set, garis dari mana Nuh dan akhirnya Abraham dan Kristus sendiri berasal, yang disebut pertama dalam bidang-bidang ini?
Pertanyaan ini tidak untuk mencela rencana ilahi, tetapi justru membuka pemahaman kita tentang cara Allah bekerja di tengah dunia yang sudah jatuh dalam dosa. Bahkan dalam keberdosaan dan keterputusan dari hadirat Tuhan, manusia tetap membawa warisan gambar dan rupa Allah. Akal budi, kreativitas, kemampuan mengolah alam — semua itu adalah bagian dari imago Dei yang tak sepenuhnya lenyap karena kejatuhan.
Dan dari sinilah kita memahami bahwa teknologi bukanlah produk dari dosa, melainkan sarana yang bisa digunakan baik untuk kebaikan maupun kejahatan. Tuhanlah yang menaruh kemampuan mencipta itu dalam diri manusia, tetapi bagaimana ia digunakan — itulah yang menentukan arahnya.
Teknologi bukanlah produk dari dosa, melainkan sarana yang bisa digunakan baik untuk kebaikan maupun kejahatan. Tuhanlah yang menaruh kemampuan mencipta itu dalam diri manusia, tetapi bagaimana ia digunakan — itulah yang menentukan arahnya.
Dalam konteks ini, mandat budaya yang tercatat dalam Kejadian 1:28 menjadi sangat penting. Allah memerintahkan manusia untuk “beranak cucu dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Ini bukan hanya ajakan untuk bereproduksi atau mengelola kebun, tetapi suatu tugas pengelolaan dunia — dan di dalamnya terkandung esensi dari teknologi: alat bantu yang dikembangkan untuk menaklukkan dan mengelola ciptaan Tuhan.
Sayangnya, sebagaimana dicatat juga dalam artikel PILLAR, perkembangan budaya dan teknologi tidak bebas dari dosa. Lamekh, keturunan Kain yang sama, dikenal sebagai orang yang memperkenalkan puisi balas dendam dan kekerasan (Kejadian 4:23–24). Maka jelas bahwa kemajuan teknologi, jika tidak dikendalikan oleh motivasi yang benar, bisa menjadi alat penghancuran — bukan hanya bagi orang lain, tetapi juga bagi ciptaan Tuhan yang harusnya dilestarikan.
Ironi ini menjadi pengingat bagi kita: bahwa keberhasilan membangun kota, membuat alat musik, atau menciptakan logam mulia, tidak otomatis mencerminkan keberhasilan secara rohani. Dunia bisa sangat maju secara teknologi, namun tetap rusak secara moral. Dan inilah peran besar orang percaya: bukan untuk menjadi paling hebat secara teknis, melainkan menjadi penata layan yang setia dan bijaksana — yang memakai teknologi sebagai sarana pelayanan, bukan sebagai tujuan penyembahan.
![]() |
ilustrasi: Jejak kekristenan dalam perkembangan teknologi dunia |
Peran besar orang percaya: bukan untuk menjadi paling hebat secara teknis, melainkan menjadi penata layan yang setia dan bijaksana — yang memakai teknologi sebagai sarana pelayanan, bukan sebagai tujuan penyembahan.
Kita tidak sedang ditantang untuk menciptakan teknologi demi supremasi, melainkan untuk menggarapnya dalam terang kasih dan kebenaran Allah. Di sinilah mandat budaya dan mandat Injil saling bertemu. Kita dipanggil bukan hanya untuk memelihara bumi, tetapi juga untuk menjadikannya tempat di mana nama Tuhan dikenal, dipermuliakan, dan dilayani — termasuk melalui karya-karya inovatif yang berdampak.
Maka pertanyaannya bukanlah: “Apakah orang Kristen bisa berperan dalam teknologi?” Melainkan: “Bagaimana kita, sebagai umat yang telah ditebus, mengarahkan teknologi ke jalan yang memuliakan Tuhan?”
Bagian 3 – Revolusi Teknologi dan Peradaban Barat: Peran Etos Kristen
Sejarah tidak pernah netral. Ia tidak hanya mencatat peristiwa, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai yang menggerakkan manusia untuk bertindak. Ketika kita menelusuri sejarah peradaban Barat — dari kemunculan universitas, penemuan besar, hingga revolusi industri — jejak Kekristenan tampak di banyak titik penting. Bukan sebagai ideologi dominan yang memaksakan diri, tetapi sebagai sistem nilai yang diam-diam membentuk kerangka berpikir, tujuan hidup, dan cara manusia memandang ciptaan.
Salah satu kontribusi terbesar Kekristenan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah pengudusan akal budi. Dalam pandangan Alkitab, dunia bukanlah ilusi yang harus dihindari (seperti dalam filsafat Gnostik), melainkan ciptaan yang baik, yang layak untuk dikaji, dikembangkan, dan dikelola. Mazmur 19:2 berkata, “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya.” Dengan kata lain, alam semesta ini adalah “kitab terbuka” kedua — setelah Kitab Suci — yang menyatakan kebesaran Tuhan.
Salah satu kontribusi terbesar Kekristenan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah pengudusan akal budi. Dalam pandangan Alkitab, dunia bukanlah ilusi yang harus dihindari, melainkan ciptaan yang baik, yang layak untuk dikaji, dikembangkan, dan dikelola.
Pemikiran ini menjadi fondasi teologis bagi munculnya scientific revolution. Di era ketika dunia lain masih tertahan oleh mistisisme dan fatalisme, Eropa yang dipengaruhi oleh Reformasi Gereja justru mengalami lonjakan eksplorasi ilmiah. Tokoh-tokoh seperti Johannes Kepler, Isaac Newton, dan Blaise Pascal bukan saja jenius dalam bidangnya, tetapi juga orang percaya yang mendalam. Newton sendiri pernah menulis bahwa ia mempelajari alam bukan untuk kemuliaan diri, tetapi “agar mengenal Allah lewat karya-Nya”.
Yang tak kalah penting adalah munculnya universitas-universitas Kristen yang menjadi pusat peradaban intelektual. Universitas Oxford dan Cambridge, misalnya, lahir dari semangat teologi dan pengabdian kepada pencarian kebenaran. Di kemudian hari, Harvard, Yale, dan Princeton — universitas elit Amerika — juga didirikan dengan tujuan utama untuk melatih para pendeta dan pemimpin Kristen. Visi mereka sederhana namun dahsyat: ilmu dan iman tidak boleh dipisahkan.
Namun mungkin pengaruh terbesar Kekristenan terhadap perkembangan teknologi justru datang dari sisi yang lebih etis dan praktis: yakni etos kerja. Setelah Reformasi Gereja abad ke-16, doktrin “panggilan” (vocatio) bukan lagi dimonopoli oleh dunia rohani semata. Setiap pekerjaan — apakah sebagai petani, tukang kayu, pengrajin, atau ilmuwan — dipandang sebagai ladang pelayanan kepada Allah. Konsep ini menghasilkan pergeseran besar dalam cara masyarakat melihat kerja: dari beban menjadi ibadah.
Sosiolog Max Weber mencatat bahwa etos kerja Kristen ini menjadi salah satu penggerak utama lahirnya kapitalisme modern dan disiplin industri. Dunia Kristen, yang sebelumnya dibatasi oleh pemahaman dualistik (yang rohani lebih tinggi dari yang jasmani), kini melihat nilai dalam mengembangkan sistem, membangun mesin, dan mencari solusi bagi persoalan umat manusia. Semua dilakukan bukan demi supremasi pribadi, tetapi karena kesadaran bahwa Allah memanggil setiap orang untuk menjadi terang di bidangnya masing-masing.
Tentu, kemajuan ini tidak selalu berjalan murni. Sejarah juga mencatat penyalahgunaan teknologi dalam kolonialisme, senjata perang, dan eksploitasi ekonomi. Tetapi kita tidak boleh menutup mata bahwa banyak percikan awal kemajuan modern disulut oleh api keyakinan bahwa Allah menciptakan dunia ini dengan keteraturan — dan bahwa manusia dipanggil untuk memahami, merawat, dan menatanya.
Maka jika hari ini kita menikmati hasil dari revolusi industri, internet, dan AI, kita perlu melihat bahwa semua itu tidak berdiri di ruang hampa. Ada warisan rohani di dalamnya. Warisan dari iman yang percaya bahwa sains bukanlah musuh, melainkan jalan untuk mengenal Allah lebih dalam.
Bagian 4 – Orang Kristen dan Inovasi: Antara Iman dan Ilmu
Dalam banyak diskusi modern, hubungan antara iman dan ilmu sering digambarkan seperti dua kutub yang saling bertentangan. Sains disebut sebagai wilayah rasio, eksperimen, dan bukti, sementara iman diasosiasikan dengan kepercayaan, pengharapan, dan hal-hal yang tidak kasat mata. Tetapi narasi ini, meskipun populer, tidak akurat secara historis. Justru, dalam banyak periode penting dalam sejarah, para pelopor sains modern adalah mereka yang hatinya menyala oleh iman kepada Kristus.
Johannes Kepler, ahli astronomi asal Jerman. Ia menemukan hukum gerak planet yang kemudian digunakan Newton untuk menyusun teori gravitasi. Dalam catatannya, Kepler menulis bahwa ia sedang “berusaha memikirkan pikiran Tuhan setelah-Nya.” Baginya, mempelajari alam semesta bukanlah soal memanipulasi data, melainkan tindakan penyembahan. Ia percaya bahwa alam semesta diciptakan dengan keteraturan, dan keteraturan itu bisa dipahami karena Allah adalah Allah yang rasional.
Begitu juga Blaise Pascal, seorang jenius matematika dan fisikawan Prancis. Ia dikenal karena penemuannya dalam teori probabilitas dan tekanan fluida. Namun di balik kejeniusannya, Pascal adalah seorang yang sangat beriman. Ia menulis Pensées, sebuah refleksi apologetik yang dalam dan personal tentang eksistensi manusia dan kasih karunia Allah. Ia menolak gagasan bahwa ilmu pengetahuan dapat menjawab semua persoalan manusia, dan tetap percaya bahwa hanya dalam Kristus hati manusia menemukan damai.
Kita juga tidak bisa melupakan Gregor Mendel, seorang biarawan Austria yang dikenal sebagai "bapak genetika modern." Di tengah kehidupannya di biara, ia melakukan percobaan silang tanaman kacang polong dan merumuskan hukum pewarisan sifat. Ilmunya menjadi fondasi bagi ilmu biologi modern. Fakta bahwa seorang rohaniwan menjadi pelopor dalam bidang sains menunjukkan bahwa batas antara iman dan ilmu tidak pernah sekeras yang dibayangkan.
Apa benang merah dari semua kisah ini?
Jawabannya ada pada cara para ilmuwan Kristen melihat pekerjaan mereka: sebagai bagian dari panggilan hidup. Mereka tidak mengejar kemuliaan pribadi atau dominasi intelektual, tetapi melihat pekerjaan mereka sebagai bentuk tanggung jawab kepada Sang Pencipta. Mereka percaya bahwa dunia ini bukan hasil kebetulan, tetapi ciptaan yang penuh makna — dan karena itu layak untuk diteliti, dimengerti, dan dikembangkan.
Lebih jauh, mereka tidak terjebak pada dikotomi palsu antara iman dan rasio. Dalam tradisi teologi Kristen, akal budi bukanlah musuh iman, melainkan anugerah Allah. Rasul Paulus pun tidak membuang akal budi, tetapi mengajak orang percaya untuk membaharui pikiran mereka (Roma 12:2). Karena itulah, dalam sejarah Kekristenan yang sejati, orang-orang yang mengejar pengetahuan tidak dianggap menyimpang — justru mereka diundang untuk menyelidiki lebih dalam misteri-misteri karya Tuhan.
Di era sekarang, ketika AI, bioteknologi, dan eksplorasi ruang angkasa menjadi topik utama, orang Kristen diundang untuk kembali melihat teladan para pendahulu ini. Kita tidak perlu takut untuk masuk ke dunia inovasi. Justru, dengan dasar iman yang kuat, kita bisa memberi warna berbeda: inovasi yang lahir bukan dari kesombongan, tapi dari penyembahan; bukan untuk kemuliaan pribadi, melainkan demi kesejahteraan sesama dan kemuliaan Tuhan.
Bagian 5 – Antara Kemajuan dan Kerusakan: Teknologi dalam Dunia yang Telah Jatuh
Teknologi adalah anugerah, tetapi juga bisa menjadi bencana. Itulah realitas dunia yang telah jatuh ke dalam dosa. Di satu sisi, kita menyaksikan keajaiban: pesawat luar angkasa yang menembus batas atmosfer, AI yang membantu diagnosis penyakit, bahkan prostetik canggih yang memulihkan gerak bagi mereka yang kehilangan anggota tubuh. Namun di sisi lain, kita juga menyaksikan bayang-bayangnya: bom termonuklir, penyebaran hoaks melalui media sosial, eksploitasi data pribadi, dan kerusakan lingkungan yang semakin tak terkendali.
Pertanyaannya bukan lagi apakah teknologi itu baik atau buruk, tetapi ke arah mana ia diarahkan — dan oleh siapa. Inilah yang disoroti secara tajam dalam artikel buletin PILLAR oleh Juan Intan Kanggrawan: bahwa setiap fase kemajuan teknologi juga membawa dampak sosial, ekonomi, dan ekologis yang sangat kompleks. Penemuan tidak pernah netral; ia membawa konsekuensi — dan di sanalah iman Kristen perlu hadir, bukan untuk menolak teknologi, tetapi untuk membentuk kerangka etik dan spiritual yang membimbing penggunaannya.
Penemuan tidak pernah netral; ia membawa konsekuensi — dan di sanalah iman Kristen perlu hadir, bukan untuk menolak teknologi, tetapi untuk membentuk kerangka etik dan spiritual yang membimbing penggunaannya.
Contoh paling jelas dari ketegangan ini mungkin bisa kita lihat dari sejarah Revolusi Industri. Ketika mesin-mesin mulai menggantikan tenaga manusia, produktivitas meningkat secara drastis. Tapi di balik kemajuan itu, ada anak-anak yang dipaksa bekerja di pabrik, lingkungan yang rusak, dan eksploitasi buruh dalam sistem yang belum matang. Dunia melihat kemajuan, tapi juga penderitaan. Lantas, apakah itu kesalahan teknologinya? Tidak. Yang keliru adalah motivasi dan sistem nilai yang mendasari penggunaannya.
Hal serupa terjadi hari ini. Kita hidup di era digital yang memungkinkan siapa saja untuk menyampaikan suara, berkarya, dan membangun komunitas lintas batas. Tapi era yang sama juga melahirkan budaya instan, kecanduan layar, krisis identitas digital, dan maraknya polarisasi politik yang disulut algoritma. Teknologi memberi alat, tapi tidak memberi arah moral. Di situlah kekristenan seharusnya hadir sebagai kompas — bukan dengan penghakiman, tetapi dengan hikmat dan kasih yang membimbing.
Teknologi memberi alat, tapi tidak memberi arah moral. Di situlah kekristenan seharusnya hadir sebagai kompas — bukan dengan penghakiman, tetapi dengan hikmat dan kasih yang membimbing.
Kitab Kejadian mencatat bahwa sesudah manusia jatuh dalam dosa, dunia tidak berhenti berkembang. Justru dari keturunan Kain, seperti yang dijelaskan dalam Kejadian 4, muncullah peternakan, musik, dan kerajinan logam. Tetapi di balik pencapaian itu, muncullah pula puisi balas dendam dari Lamekh — sebuah refleksi bahwa budaya dan teknologi bisa berkembang bersamaan dengan dosa, bahkan menjadi salurannya.
Maka, bagi orang percaya, tantangannya bukan sekadar menjadi “yang paling maju”, melainkan menjadi yang paling bertanggung jawab. Kita tidak dipanggil untuk menyembah teknologi, atau menolaknya secara membabi buta, tetapi untuk menggarapnya dengan takut akan Tuhan. Kita memerlukan teologi teknologi — suatu pemahaman bahwa inovasi adalah bagian dari mandat budaya, tetapi juga harus ditundukkan pada kasih, keadilan, dan kebenaran Allah.
Gereja dan komunitas Kristen hari ini punya peran strategis: membentuk generasi yang bisa mengenali potensi dan bahaya teknologi, yang tahu kapan harus mengembangkan, dan kapan harus menahan diri. Dunia tidak butuh lebih banyak inovator cerdas; dunia butuh lebih banyak inovator yang berhikmat, yang mengembangkan teknologi bukan untuk kemuliaan diri, tetapi demi kebaikan sesama dan hormat kepada Pencipta.
Seperti yang disampaikan Juan Intan Kanggrawan dalam artikelnya, pertanyaan mendasar bukanlah “apakah kita maju?”, tetapi “untuk apa dan dengan motivasi apa kita maju?” Karena teknologi bisa menjadi alat anugerah, atau menjadi senjata perusak — tergantung tangan dan hati yang menggunakannya.
Bagian 6 – Sikap Kristen terhadap Teknologi: Antara Partisipasi dan Disernmen
Teknologi adalah bagian dari dunia ini — dan karena itu, orang Kristen tidak dipanggil untuk menjauh darinya, tetapi untuk hadir di dalamnya. Namun kehadiran ini tidak boleh asal-asalan. Kita tidak bisa hanya mengikuti arus, membenarkan segala inovasi sebagai “kemajuan”, atau bahkan menyamakan teknologi dengan keselamatan. Sebaliknya, kita juga tidak bisa menolak teknologi sepenuhnya dan berlindung di balik tembok nostalgia akan masa lalu yang “lebih sederhana”.
Di tengah ketegangan itulah, orang Kristen dipanggil untuk mengambil dua sikap yang saling melengkapi: berpartisipasi dan memiliki discernment (kepekaan membedakan secara rohani). Keduanya adalah bagian dari tanggung jawab iman yang tidak bisa dipisahkan.
Apa itu discernment (kepekaan membedakan secara rohani)?
Dalam bahasa sederhana, discernment berarti kemampuan untuk membedakan dengan tajam mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk, bahkan mana yang terbaik di antara yang baik-baik. Ini bukan sekadar soal tahu aturan, tetapi soal kepekaan rohani yang dibentuk oleh Firman Tuhan, doa, dan kehadiran Roh Kudus.
Dalam Filipi 1:9–10, Paulus berdoa agar jemaat “berlimpah dalam kasih dan dalam pengertian yang benar, sehingga kamu dapat membedakan mana yang baik.” Di sinilah discernment hidup — bukan di ruang debat teologis semata, tetapi dalam keputusan sehari-hari: teknologi mana yang membangun, konten mana yang merusak, inovasi mana yang layak dikembangkan, dan tren mana yang justru perlu ditinggalkan.
Berpartisipasi dengan tanggung jawab
Tuhan tidak memanggil kita untuk jadi pengamat, tapi pelaku. Mandat budaya dalam Kejadian 1:28 masih berlaku hari ini — termasuk dalam pengembangan teknologi. Kita butuh lebih banyak orang Kristen di bidang kecerdasan buatan, energi terbarukan, arsitektur digital, pendidikan berbasis teknologi, dan bahkan dunia gaming dan desain visual. Tapi kehadiran itu tidak cukup hanya dengan kompetensi. Diperlukan kejelasan moral dan arah spiritual.
Berpartisipasi berarti hadir secara aktif — membangun, mencipta, dan berkontribusi. Namun dalam kehadiran itu, kita harus menjadi garam dan terang, bukan cermin dari dunia yang kehilangan arah. Karena itu, discernment menjadi kunci: tidak semua hal harus kita ikuti, tidak semua teknologi harus kita puja. Kita harus berani berkata "ya" pada hal-hal yang membawa kehidupan, dan "tidak" pada hal-hal yang menjauhkan manusia dari Tuhan dan sesamanya.
Tidak semua hal harus kita ikuti, tidak semua teknologi harus kita puja. Kita harus berani berkata "ya" pada hal-hal yang membawa kehidupan, dan "tidak" pada hal-hal yang menjauhkan manusia dari Tuhan dan sesamanya.
Keseimbangan antara iman dan inovasi
Orang Kristen perlu belajar hidup dalam ketegangan ini — antara iman yang teguh dan semangat inovatif. Tidak ada gunanya mengklaim bahwa kita punya kebenaran jika kebenaran itu tidak hadir dalam bentuk karya yang relevan bagi dunia. Tapi juga sia-sia jika kita menjadi inovatif namun kehilangan arah iman.
Keseimbangan itu bukan sesuatu yang otomatis lahir. Ia perlu didoakan, dibentuk dalam komunitas, dan terus dikritisi. Gereja hari ini perlu membuka ruang bagi dialog tentang teknologi, etika digital, dan transformasi budaya — bukan untuk menjadi pakar, tetapi untuk menjadi pelayan. Karena setiap bidang kehidupan, termasuk teknologi, adalah ladang misi.
Bagian 7 – Penutup: Iman, Inovasi, dan Tanggung Jawab Kita Hari Ini
Dalam dunia yang semakin cepat dan kompleks ini, mungkin kita tidak selalu tahu harus mulai dari mana. Tapi kita tahu kepada siapa kita berpaling. Tuhan yang menciptakan dunia ini juga adalah Tuhan atas semua inovasi. Ia tidak tertinggal oleh teknologi, dan Ia memanggil umat-Nya untuk menapaki masa depan dengan iman yang tajam dan hati yang bijak.
Manusia selalu mencari, mencipta, dan membentuk dunia di sekitarnya. Namun sebagai orang percaya, kita tahu bahwa pencarian itu tidak berhenti di batas akal budi — karena di balik setiap hukum alam, di balik setiap logika algoritma, ada Pribadi yang merancang dan menopangnya.
Kita hidup di zaman yang menakjubkan sekaligus menegangkan. Teknologi berkembang begitu cepat, kadang melampaui daya tangkap moral kita. Dunia memuja kecepatan, efisiensi, dan konektivitas — tetapi sering melupakan belas kasih, keadilan, dan kebenaran. Di sinilah peran orang percaya menjadi sangat penting. Bukan hanya untuk hadir sebagai pengguna teknologi, tetapi sebagai penata layan yang bijaksana.
Iman Kristen tidak pernah menolak kemajuan. Sebaliknya, iman mengarahkan kemajuan kepada tujuan yang benar — bukan demi kejayaan pribadi, tetapi untuk kemuliaan Allah dan kebaikan sesama. Iman yang hidup tidak diam di bangku gereja, tetapi menyala di laboratorium, kampus, pabrik, studio desain, ruang coding, dan layar laptop. Karena tidak ada ruang yang terlalu sekuler bagi kasih Allah untuk dinyatakan.
Maka kita diundang untuk bertanya — bukan hanya “Apa yang bisa saya ciptakan?”, tetapi juga:
“Untuk siapa saya mencipta?”
“Apa dampak jangka panjang dari teknologi yang saya kembangkan?”
“Apakah saya membangun sesuatu yang mencerminkan belas kasih dan kebenaran Tuhan?”
“Apakah inovasi saya memperkuat martabat manusia atau justru mereduksinya?”
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak selalu punya jawaban instan. Tapi justru dalam pergumulan itulah, discernment rohani dibentuk. Dan ketika orang percaya mulai bertanya, mulai mencari, dan mulai bertindak dengan takut akan Tuhan — di situlah benih-benih transformasi sejati tumbuh.
Kiranya artikel ini bukan sekadar bacaan reflektif, tetapi menjadi pemantik kesadaran baru: bahwa setiap talenta, keahlian, dan kesempatan kita di dunia digital ini adalah bagian dari mandat budaya — dan lebih jauh, bagian dari misi Injil.
Sebagaimana lagu Be Thou My Vision yang dikutip oleh Juan Intan Kanggrawan dalam artikelnya:
“Thou and Thou only, first in my heart; High King of Heaven, my treasure Thou art.”
Kiranya dalam setiap baris kode, setiap rancangan, setiap inovasi dan keputusan strategis, Tuhan tetap menjadi harta dan tujuan utama kita.
-
Juan Intan Kanggrawan, Teknologi dan Perkembangan Peradaban: Apakah Orang Kristen Harus Mengejar dan Mengutamakan Perkembangan Teknologi? (Buletin PILLAR, Redaksi Editorial, rubrik faith & vocation). - https://www.buletinpillar.org/iman-kristen-pekerjaan/teknologi-dan-perkembangan-peradaban-apakah-orang-kristen-harus-mengejar-dan-mengutamakan-perkembangan-teknologi
-
The Harmony of the World, Johannes Kepler
-
Pensées, Blaise Pascal
-
The Principia Mathematica, Isaac Newton
-
Experiments on Plant Hybridization, Gregor Mendel
👉 Terima kasih sudah membaca sampai selesai. Konten ini dikembangkan menjadi sebuah artikel dengan berkolaborasi bersama AI, dan telah melalui proses editing oleh CXFranklin.
💡 Dukung Perjalanan Kami
CXF Digital adalah sebuah inisiatif independen yang sedang kami bangun dari nol—berangkat dari kerinduan untuk mengembangkan literasi digital di Sulawesi Utara dan Indonesia secara lebih luas. Kami adalah kreator konten digital dengan semangat inklusif yang berakar dari nilai-nilai Kristen, namun terbuka dan hadir untuk semua, tanpa sekat agama atau latar belakang.Kami menggunakan teknologi AI untuk menghasilkan konten berkualitas yang membangun, mencerdaskan, dan memberdayakan. Namun, perjalanan ini tidak mudah. Kami membutuhkan dukungan—bukan hanya dalam bentuk apresiasi moral, tetapi juga partisipasi nyata.
Jika Anda tergerak untuk mendukung keberlanjutan blog dan pengembangan media digital kami, Anda dapat memberikan donasi melalui QRIS yang tertera di bagian akhir halaman ini. Dukungan Anda akan sangat berarti, bukan hanya untuk menutupi biaya operasional dan langganan teknologi, tetapi juga membuka harapan: kami berharap dapat mempekerjakan satu orang di tahap awal ini—sebuah langkah kecil namun berdampak besar di tengah sulitnya mencari pekerjaan saat ini.
Terima kasih telah menjadi bagian dari perjalanan ini. Setiap kontribusi adalah bentuk kepercayaan yang kami jaga dengan penuh tanggung jawab.
Tidak ada komentar