Mungkin Anda pernah berada di titik ini: tahu bahwa Tuhan itu baik, tapi tetap merasa kehilangan itu menyakitkan.
Kalau iya, artikel ini mungkin ditulis untuk Anda.
Cerita kita tentu tidak sama. Sebelum saya membagikan kisah saya, izinkan saya berkata: saya bukan sedang berusaha terlihat kuat. Saya hanya menceritakan apa yang saya alami. Dan jika Anda saat ini merasa sangat sedih, itu tidak apa-apa. Tidak ada cara yang “benar” untuk berduka. Di artikel ini, saya juga akan membagikan kisah lain—dari orang-orang yang menemukan pengharapan di tengah kehilangan mereka.
Saya tidak asing dengan kehilangan orang dekat untuk selamanya. Sejak SD, saya telah menyaksikan enam orang keluarga saya meninggal dunia: Om saya meninggal karena kecelakaan mobil saat saya masih kecil, tante saya meninggal di RS karena sakit, juga opa dan oma saya meninggal saat saya usia remaja, papa saya meninggal karena sakit di tahun 2008, dan terakhir, mama meninggal karena sakit di Agustus 2024.
Di saat saya mengalami keterpisahan untuk selamanya dengan mereka, saya tidak menangis. Dari kecil mama memang sudah mengajarkan tentang bagaimana menghadapi kematian kepada kami. Selain karena saya percaya bahwa di dalam Kristus ada kehidupan setelah kematian, mama juga berulang-ulang mengatakan “Ngapain kamu menangis saat nanti mama meninggal? Selagi hidup, kamu berikan yang terbaik. Menangis di depan mayat mama itu tidak ada gunanya, karena mama sudah tidak bernyawa lagi.” Kalimat itu terpatri.
![]() |
Foto terakhir mama, 17 Agustus 2024, perjalanan dari ruang IGD ke kamar perawatan di lantai 3 sebuah RS di Minahasa Utara. Besoknya 18 Agustus, mama meninggal. |
Saya juga melihat mama begitu tegar ketika ayahnya meninggal, saya melihat dia menangis saat mendapat kabar opa meninggal, tapi saat upacara pemakaman, dia tidak menangis di depan peti. Demikian juga waktu papa meninggal. Memang, dari semua pengalaman saya menghadapi keterpisahan kekal itu, hanya om saya yang meninggal mendadak karena kecelakaan, dan waktu itu saya masih kecil dan belum mengerti ini ada apa. Selebihnya mereka meninggal karena sakit, jadi ada waktu untuk mempersiapkan hati menghadapi kematian mereka.
Tentu pengalaman saya akan berbeda dengan orang-orang yang mengalami kehilangan orang yang mereka kasihi secara mendadak. Tak ada kalender yang bisa menandai kapan duka akan mengetuk pintu. Ketika kematian datang, ia tak hanya merampas seseorang yang kita kasihi—ia juga mengoyak kehidupan, keyakinan, bahkan relung iman yang terdalam. Duka datang seperti badai di tengah laut yang tenang, menenggelamkan segala sesuatu yang sebelumnya terasa kokoh dan pasti. Kita bisa tahu bahwa hidup ini fana, tetapi ketika kematian benar-benar menyapa orang yang kita cintai, dunia kita seakan berhenti berputar.
Duka datang seperti badai di tengah laut yang tenang, menenggelamkan segala sesuatu yang sebelumnya terasa kokoh dan pasti.
Belum lama ini, saya menonton sebuah episode podcast dari The Gospel Coalition. Judulnya "Grief, Loss, and Gratitude". Episode itu menurut saya begitu powerfull, sampai membuat saya merasa bahwa saya perlu menuliskan artikel ini—bukan hanya sebagai refleksi pribadi, tapi juga sebagai pengingat bersama bahwa duka dan syukur bisa hadir dalam satu ruang yang sama. Kisah mereka menjadi refleksi bahwa duka itu tak pernah sederhana, namun Tuhan pasti hadir menemani kita melewati masa kelam itu, mungkin dalam bentuk yang tak terduga oleh kita.
Saya mengambil judul podcast itu untuk artikel ini karena saya percaya, tiga kata itu merangkum dengan indah perjalanan iman banyak dari kita. Saya sekarang sudah menjadi seorang suami dan ayah satu anak. Ketika nanti kematian menyapa saya, istri, atau anak saya dengan cara apapun, setidaknya saya harus mempersiapkan keluarga saya, seperti mama saya dulu mempersiapkan saya.
Whitney Pipkin dan Wendy Alsup—dua perempuan Kristen yang bersahabat dan sama-sama bergumul dengan kehilangan yang sangat personal. Dalam episode itu, mereka bercakap bersama Courtney Doctor sebagai host podcast tersebut untuk berbicara dengan jujur dan terbuka: tentang air mata, amarah, kekosongan, dan, ya—rasa bersyukur. Dari perbincangan mereka saya mengajak untuk kita belajar bahwa duka bukanlah musuh iman, dan kehilangan bukan akhir dari kasih Tuhan. Justru, di masa itulah sering kali kita bertemu dengan kehadiran Tuhan yang paling nyata.
Duka yang Mengubah: Kisah Whitney dan Wendy
Whitney, ibunya meninggal di usia 63 tahun, setelah dua dekade melawan kanker—lebih muda dari usia mama, mama meninggal usia 71 tahun. Sebuah pergulatan panjang yang dimulai sejak Whitney masih remaja. Dari luar, mungkin terlihat seperti proses yang sudah bisa dipersiapkan. Tapi seperti yang ia katakan dalam podcast, “Saya mengira saya tahu teologi kematian, tapi saya salah.” Hanya saat kematian benar-benar hadir di ruang rumah sakit dan menggenggam tangan ibunya, Whitney baru menyadari: di lembah kekelaman itu Tuhan hadir. Di sanalah, kata Whitney, ia mengalami persekutuan yang dalam dengan Kristus—"the Man of Sorrows". Itulah titik di mana pengetahuan teologis berubah menjadi pengalaman iman yang nyata, dan mendalam.
Wendy, di sisi lain, menghadapi kehilangan (rasa duka) dalam bentuk yang berlapis-lapis. Suaminya didiagnosis skizofrenia, pernikahannya kandas, lalu ia sendiri divonis kanker. Dan ketika ia mulai berdiri kembali, ayah yang menjadi tumpuan hidupnya meninggal dunia. "Saya dulu berpikir saya bisa menghindari penderitaan," katanya. "Sekarang saya sadar: penderitaan adalah bagian dari hidup di dunia yang jatuh dalam dosa." Dalam setiap tahapan kesedihan itu, Wendy melihat bagaimana penderitaan tidak hanya mengubah hidupnya, tapi juga membentuk jiwanya untuk semakin menyerupai Kristus. Ia berkata bahwa setiap lapisan duka itu menekan dan membentuknya seperti tanah liat di tangan Sang Penjunan.
"Saya dulu berpikir saya bisa menghindari penderitaan," katanya. "Sekarang saya sadar: penderitaan adalah bagian dari hidup di dunia yang jatuh dalam dosa." Penderitaan tidak hanya mengubah hidupnya, tapi juga membentuk jiwanya untuk semakin menyerupai Kristus. Ia berkata bahwa setiap lapisan duka itu menekan dan membentuknya seperti tanah liat di tangan Sang Penjunan.
Menghadapi Kehilangan: Duduk, Menangis, dan Tidak Terburu-Buru
Bagi Whitney dan Wendy, menghadapi rasa duka bukan berarti "mengalah" atau menyerah. Tapi juga bukan berarti harus melawan dengan senyuman yang pura-pura. Mereka menemukan bahwa dalam iman Kristen, ada ruang yang luas untuk berduka. Ada Mazmur ratapan. Ada kitab Ratapan. Bahkan Yesus pun menangis saat Lazarus mati. Ada kekudusan dalam kesedihan yang tidak dihindari, dan ada kekuatan dalam air mata yang tidak dipendam.
Wendy menggambarkan dalam podcast itu, bagaimana saat masa berdukanya, dia merasa seperti gegar otak—kehilangan kemampuan berpikir jernih. "Ada kabut yang menyelimuti saya berbulan-bulan. Dan saya tidak tahu kapan itu akan berakhir." Ia juga menyadari betapa sepinya penderitaan bisa terasa setelah orang-orang berhenti datang untuk menghibur atau memberikan dukungan setelah beberapa waktu selesai pemakaman. Alih-alih membaik dengan cepat, duka justru berdiam lebih lama daripada yang dunia perkirakan, dan sering kali, kita dibiarkan sendirian untuk merawat luka-luka jiwa.
Whitney menambahkan, betapa sering orang-orang Kristen merasa bersalah karena masih berduka. "Seolah-olah iman yang kuat seharusnya membuat kita cepat 'move on'. Tapi tidak begitu cara kerja hati manusia." Ia mengajak kita berhenti merasa perlu membungkus duka dengan kalimat positif yang terlalu cepat. “Terkadang,” katanya, “hal paling menolong yang bisa dikatakan seseorang adalah: ‘Itu memang menyakitkan.’” Pernyataan itu membebaskan. Ia memberi ruang untuk jujur di hadapan Tuhan, dan mengingatkan kita bahwa tidak ada nilai spiritual dalam kepura-puraan.
Mengapa Bersyukur? Tentang Penghiburan yang Tidak Tergesa
Pertanyaan besar yang mereka hadapi—dan yang kita semua hadapi—adalah ini: mengapa, atau bahkan bagaimana, bisa bersyukur di tengah rasa duka yang mendalam? Bagaimana mungkin seseorang mengucap syukur sementara hatinya hancur?
Whitney menjawab dengan jujur: “Rasanya seperti Tuhan menyuruh saya berjalan lagi padahal kaki saya masih patah.” Tapi justru di saat itulah ia menyadari: sukacita adalah buah dari Roh Kudus, bukan hasil usaha pribadi. Ia belajar memohon: “Tuhan, jangan biarkan penderitaan ini sia-sia.”
Syukur bukanlah hasil dari menyusun ulang logika kita. Ia muncul sebagai respons atas kehadiran Allah di tengah penderitaan kita. Ketika kita tidak bisa lagi memaksakan diri untuk "kuat", kita mulai menyadari bahwa kekuatan itu datang dari luar diri—dari Pribadi yang berjalan bersama kita di lembah bayang-bayang maut.
Syukur bukanlah hasil dari menyusun ulang logika kita. Ia muncul sebagai respons atas kehadiran Allah di tengah penderitaan kita.
Wendy pun mengalami hal serupa. Dalam kematian ayahnya yang tampak begitu traumatis, ia menemukan harta tersembunyi di dalam firman Tuhan—Mazmur 116:15 “Berharga di mata TUHAN kematian semua orang yang dikasihi-Nya.” Ayat itu mengubah pandangannya: kematian itu tidak sekadar kehancuran; ia juga bisa menjadi sesuatu yang kudus dan bermakna dalam pandangan Allah. Di malam saat ayahnya meninggal, Mazmur itu menjadi penghiburan yang lebih nyata dari apapun yang bisa ia baca atau dengar.
Kematian itu tidak sekadar kehancuran; ia juga bisa menjadi sesuatu yang kudus dan bermakna dalam pandangan Allah.
Penutup: Menemukan Hadirat Tuhan di Tengah Abu Duka
Beberapa hari yang lalu, dunia kembali diingatkan akan kerapuhan hidup. Sebuah pesawat Air India jatuh di Ahmedabad tak lama setelah lepas landas. Tragedi itu merenggut banyak nyawa, tidak ada yang siap menghadapi kehilangan yang begitu mendadak seperti itu. Tidak ada peringatan. Tidak ada waktu untuk mengucapkan selamat tinggal. Kehilangan datang secepat kedipan mata, dan meninggalkan luka yang dalam.
Kita mungkin tidak mengenal mereka secara pribadi. Tapi Tuhan mengenal mereka. Setiap nyawa, setiap tangis yang tertinggal, setiap keluarga yang kini hidup dengan kursi kosong di meja makan mereka—semua itu berharga di mata-Nya. Tragedi seperti ini menyadarkan kita bahwa kematian bisa datang kepada siapa saja, kapan saja. Ia tidak memilih berdasarkan usia, iman, atau kesiapan. Dan saat itu terjadi, satu-satunya tempat perlindungan kita adalah Kristus yang hadir dalam lembah kelam itu.
Jika Anda yang sedang membaca ini dan pernah mengalami kehilangan mendadak seperti itu, izinkan kami berkata dengan tulus: kami turut berdukacita. Tidak ada kata yang cukup, tapi kiranya Anda tidak merasa sendiri.
Duka dan kehilangan adalah pengalaman yang tak bisa diringkas dalam sebuah halaman artikel blog. Ia akan terus muncul, kadang di pagi buta, kadang di tengah keramaian. Rasa duka itu bisa muncul dalam bau teh, suara musik, atau saat melihat foto-foto di media sosial. Tapi kabar baiknya, seperti yang Whitney dan Wendy temukan, kita tidak sendirian. Kristus hadir dalam penderitaan. Dia menangis bersama kita. Dia tidak terburu-buru mengangkat kita dari duka sebelum waktunya.
Dan di tengah gelap itulah, seberkas cahaya bisa muncul—cahaya syukur. Bukan syukur yang dipaksakan, tapi yang lahir dari kesadaran bahwa bahkan di dalam lembah kekelaman sekalipun, Tuhan hadir. Bukan untuk membungkam duka, tapi untuk menyertai, merangkul, dan menghibur kita. Di situlah kita mulai mengenali kasih karunia yang tidak tergesa-gesa, yang tidak menuntut senyum palsu, tetapi menampung semua air mata kita.
Karena di tengah duka dan kehilangan, ada satu kepastian: kita sedang dibentuk. Dan di dalam Kristus, kita akan diubahkan. Tidak selalu menjadi seseorang yang lebih kuat, tetapi menjadi seseorang yang lebih sadar akan ketergantungannya pada Tuhan. Seseorang yang mengenal kelemahan dirinya dan menemukan kasih karunia di dalam hubungan yang intim bersama Kristus.
"We Shall All Be Changed." Whitney Pipkin
Bagaimana dengan Anda?
Apakah Anda sedang berjalan melewati lembah duka? Apa bentuk penghiburan yang paling bermakna bagi Anda selama ini?
Silakan bagikan cerita atau refleksi Anda di kolom komentar di bawah. Mungkin kisah Anda bisa menjadi penghiburan bagi orang lain juga.
Dan jika artikel ini menguatkan Anda, bagikanlah kepada seseorang yang juga sedang bergumul. Mungkin itu akan menjadi pelukan lembut yang mereka butuhkan hari ini.
👉 Konten ini dikembangkan menjadi sebuah artikel dengan berkolaborasi bersama AI, dan telah melalui proses editing oleh CXFranklin.
💡 Dukung Perjalanan Kami
CXF Digital adalah sebuah inisiatif independen yang sedang kami bangun dari nol—berangkat dari kerinduan untuk mengembangkan literasi digital di Sulawesi Utara dan Indonesia secara lebih luas. Kami adalah kreator konten digital dengan semangat inklusif yang berakar dari nilai-nilai Kristen, namun terbuka dan hadir untuk semua, tanpa sekat agama atau latar belakang.
Kami menggunakan teknologi AI untuk menghasilkan konten berkualitas yang membangun, mencerdaskan, dan memberdayakan. Namun, perjalanan ini tidak mudah. Kami membutuhkan dukungan—bukan hanya dalam bentuk apresiasi moral, tetapi juga partisipasi nyata.
Jika Anda tergerak untuk mendukung keberlanjutan blog dan pengembangan media digital kami, Anda dapat memberikan donasi melalui QRIS yang tertera di bagian akhir halaman ini. Dukungan Anda akan sangat berarti, bukan hanya untuk menutupi biaya operasional dan langganan teknologi, tetapi juga membuka harapan: kami berharap dapat mempekerjakan satu orang di tahap awal ini—sebuah langkah kecil namun berdampak besar di tengah sulitnya mencari pekerjaan saat ini.
Terima kasih telah menjadi bagian dari perjalanan ini. Setiap kontribusi adalah bentuk kepercayaan yang kami jaga dengan penuh tanggung jawab.
Tidak ada komentar