Beranda
CXF BLOG
Kristen
Lifestyle
Pembimbingan Pra-nikah: Kesempatan Untuk Memulai Dengan Benar
Mei 05, 2025

Pembimbingan Pra-nikah: Kesempatan Untuk Memulai Dengan Benar

Kebanyakan orang menyangka bahwa pernikahan itu merupakan momen puncak dari kisah cinta. Tapi banyak yang tidak sadar, bahwa keputusan untuk menikah bukanlah akhir dari cerita—melainkan awal dari kehidupan yang sama sekali baru. Pertanyaannya bukan sekadar: "Apakah aku mencintainya?" tetapi juga: "Apakah aku benar-benar siap untuk hidup bersamanya dalam segala musim kehidupan?" Saya mengajak pembaca untuk menyelami hal-hal yang kerap luput disadari sebelum janji pernikahan diucapkan. Kita akan membahas dinamika relasi, kesiapan emosional, dan fondasi iman yang harus dimiliki sebelum seseorang, laki-laki atau perempuan, mengatakan dua kata yang akan mengubah hidup dia selamanya: "I do."

ilustrasi: seorang pria melamar pacarnya | Foto: Chat-GPT AI 

Masa Pra-Nikah: Titik Awal yang Menentukan

Cinta Saja Tidak Cukup

Ketika ada dua pribadi yang sedang jatuh cinta, kembali lagi saya katakan, laki-laki dan perempuan. Hubungan mereka penuh tawa, perhatian, dan momen-momen manis yang membekas di hati. Mereka pun memutuskan untuk menikah—dengan harapan bahwa cinta yang mereka miliki akan cukup untuk mengatasi segala tantangan hidup. Tapi bagaimana jika usia pernikahan mereka, bahkan belum mencapai dua tahun, rumah tangga mereka retak? Mereka mulai merasa seperti dua orang asing yang tinggal serumah. Ternyata, cinta saja tidak cukup. Tanpa kesiapan mental untuk menghadapi konflik, tanpa visi hidup yang sama, dan tanpa pemahaman mendalam tentang siapa pasangan yang dia pilih untuk menemaninya seumur hidup, cinta bisa menjadi rapuh. Pernikahan membutuhkan lebih dari sekadar perasaan; ia butuh komitmen, pengertian, dan kematangan emosi yang dibentuk sejak sebelum janji pernikahan itu diucapkan.

Proses yang Tak Boleh Dilewatkan

Pembimbingan pra-nikah itu penting! Pembimbingan pra-nikah bukan sekadar memenuhi kewajiban gereja atau mencentang daftar persyaratan sebelum pemberkatan. Ini adalah proses yang mendalam untuk mempersiapkan diri, baik secara emosional maupun rohani. Di sinilah pasangan diajak untuk menyelami realitas hidup pernikahan, mengenal satu sama lain lebih jujur, serta memahami panggilan Tuhan dalam membangun rumah tangga. Pembimbingan pra-nikah membuka ruang bagi diskusi yang jujur tentang masa lalu, luka batin, nilai-nilai hidup, serta impian yang belum tentu sejalan. Di sinilah pasangan belajar bukan hanya untuk bertahan dalam pernikahan, tapi juga bertumbuh bersama sebelum menyatu dalam ikatan yang kudus dan tidak main-main—sebuah ikatan yang dirancang bukan hanya oleh cinta, tapi oleh komitmen di hadapan Tuhan satu kali seumur hidup.

Di banyak budaya, persiapan pernikahan lebih sering diidentikkan dengan gaun, dekorasi, pilihan menu makanan, dan undangan. Namun sesungguhnya, persiapan yang paling penting justru terjadi dalam hati dan pikiran. Sebelum seseorang melangkah ke altar dan mengucapkan janji suci pernikahan, ia perlu bertanya: sudahkah aku mengenal diriku? Sudahkah aku siap untuk mengenal dan menerima orang lain dalam segala keberadaannya? Pernikahan adalah perjalanan seumur hidup bersama seseorang yang membawa serta masa lalunya, keunikan karakternya, dan impian masa depannya. Di sinilah pembimbingan pra-nikah hadir sebagai tempat yang aman dan bijak untuk mengevaluasi kesiapan pribadi secara bersama-sama. Bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menguatkan dan memurnikan komitmen dua pribadi sebelum janji itu diucapkan di hadapan Tuhan.

Baca juga: Harmoni Keluarga: Membangun Kerukunan yang Menginspirasi dan Menguatkan

Tiga Area yang Perlu Dipersiapkan Sebelum Menikah

Beberapa hal penting yang harus dibereskan sebelum memasuki pernikahan antara lain:

  1. Komunikasi. Banyak pasangan muda belum terbiasa mengungkapkan isi hati mereka secara terbuka dan dewasa. Mereka kerap merasa bahwa menyimpan perasaan lebih aman daripada menimbulkan konflik. Padahal, perasaan yang dipendam bisa berubah menjadi bom waktu yang dapat meledak ketika tekanan meningkat saat terjadi konflik. Yang satu mengungkapkan kemarahan melalui sikap diam atau sarkasme yang menyakitkan, sementara yang lain cenderung menuntut dan mendominasi tanpa benar-benar berusaha memahami. Di sinilah pasangan belajar mengenali pola komunikasi masing-masing, memahami bahasa kasih, dan membangun empati. Komunikasi bukan hanya soal menyampaikan pesan, tetapi membangun jembatan jiwa agar dua pribadi bisa berjalan bersama dalam pengertian dan kasih.

  2. Nilai hidup dan iman. Setiap orang membawa nilai-nilai hidup yang dibentuk oleh latar belakang keluarga, pendidikan, pengalaman pribadi, dan tentu saja—iman yang dianut. Dua orang bisa saling mencintai, tetapi memiliki pandangan yang sangat berbeda soal bagaimana uang seharusnya dikelola, bagaimana anak harus dididik, bagaimana hubungan dengan mertua sebaiknya dibangun, atau bahkan bagaimana peran suami dan istri seharusnya dijalani menurut ajaran iman mereka. Perbedaan-perbedaan ini bukan hanya soal teori, tetapi akan terasa nyata dalam keputusan-keputusan harian dan konflik yang muncul. Jika tidak disadari dan dibahas sejak awal, perbedaan nilai ini bisa menjadi akar dari pertengkaran yang berulang dan melelahkan. Pembimbingan pra-nikah membantu pasangan mengenali perbedaan ini, mendiskusikannya secara terbuka, dan mencari titik temu—bukan untuk menyeragamkan semuanya, tetapi untuk saling memahami dan menentukan arah bersama berdasarkan kebenaran firman Tuhan.

  3. Motivasi untuk menikah. Apakah seseorang itu ingin menikah karena tekanan sosial? Karena sudah terlalu lama pacaran? Karena ingin keluar dari rumah? Atau karena rasa kasihan? Semua itu bisa menjadi dasar yang rapuh. Banyak kasus di mana seseorang akhirnya menerima lamaran hanya karena merasa usia sudah mendesak. Ia belum mengenal betul siapa pasangannya—latar belakang keluarga, nilai hidup, bahkan karakter dasar belum dipahami secara mendalam. Dalam kondisi seperti itu, ada yang menerima lamaran hanya karena rekomendasi teman, tanpa proses mengenal pribadi pasangannya secara bertahap dan bertanggung jawab. Akibatnya, setelah menikah, barulah muncul kekecewaan demi kekecewaan: sifat asli yang sulit ditoleransi, ekspektasi yang tidak sejalan, konflik dengan keluarga mertua, atau perbedaan nilai iman yang tajam. Hal-hal ini bisa membesar, menjadi batu sandungan dalam relasi, dan dalam banyak kasus, berujung pada perceraian.

Pernikahan sejati dibangun di atas panggilan dan komitmen, bukan pelarian. Bukan karena dorongan panik atau kasihan. Tapi karena dua orang sungguh-sungguh mengenal, menerima, dan memilih satu sama lain untuk berjalan bersama dalam terang kasih Kristus.

Married by Accident: Dari Keterpaksaan Menuju Pemulihan

Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap realita yang semakin sering terjadi: Married by Accident (MBA). Banyak pasangan muda yang terpaksa menikah karena kehamilan yang tidak direncanakan, tekanan keluarga, atau rasa malu. Masalahnya, pernikahan karena keterpaksaan sering kali dimulai tanpa fondasi yang kokoh. Hubungan yang belum matang, belum sehat, dan belum mengalami proses pembentukan justru dipaksa ke dalam komitmen seumur hidup.

Pembimbingan pra-nikah menurut saya bisa menjadi momentum untuk menilai kembali kesiapan pribadi dan relasi. Ini adalah proses membereskan luka masa lalu, membongkar pola pikir yang tidak sehat, dan menyerahkan masa depan relasi di bawah terang firman Tuhan. Lebih dari itu, ini juga tentang menyelaraskan visi hidup bersama: apa arti keluarga bagi kami? Bagaimana kami akan membesarkan anak-anak? Apa tujuan hidup kami sebagai pasangan Kristen?

Di tengah budaya yang serba instan, di mana segala sesuatu bisa dibatalkan dengan mudah, Tuhan memanggil kita untuk membangun rumah tangga di atas dasar yang kekal. Dan dasar itu adalah Kristus. Maka, mengenal pasangan bukan sekadar mengetahui warna kesukaannya atau makanan favoritnya, tapi bagaimana ia memandang dosa, pengampunan, pemuridan, dan masa depan kekal.

Pre-Marital Camp 2025: Kesempatan untuk Memulai dengan Benar

Disclaimer: Saya bukan bagian dari panitia PMC 2025, saya tidak dibayar atau di-endorse oleh panitia PMC 2025, saya hanya seorang blogger yang tergerak untuk membagikan informasi baik ini dengan cara saya, sebagai seorang blogger.

Oke... Bagi kamu yang saat ini sedang dalam tahap pacaran serius, bertunangan, atau bahkan baru menikah kurang dari satu tahun, Pre-Marital Camp (PMC) 2025 bisa menjadi salah satu momen paling penting dalam perjalanan relasimu. Dengan tema "Before You Say I Do", camp ini bukan sekadar retret, tapi ruang belajar dan refleksi yang akan memperlengkapi kamu secara menyeluruh—rohani, emosional, dan praktis—untuk menghadapi kehidupan pernikahan dengan penuh kesiapan.

Bahkan bagi kamu yang mungkin sudah terlanjur menikah karena kondisi tertentu, seperti Married by Accident (MBA), belum setahun menikah, dan kini sedang bergumul dengan penyesuaian serta luka batin dalam relasi, menurut saya PMC ini bisa menjadi titik restart. Sebuah kesempatan untuk membereskan hal-hal yang dulu terlalu cepat dilalui, dan menjadikan anugerah Tuhan sebagai fondasi baru pernikahanmu. Dalam kasih karunia Tuhan, tidak ada yang terlalu rusak untuk dipulihkan. Gereja mungkin telah memberkati pernikahanmu karena tuntutan waktu dan keadaan, tapi Tuhan masih memberikan kesempatan untuk kamu membangun ulang relasi itu dengan pemahaman yang lebih dalam dan benar.

Dengan pembicara seperti Pdt. Nyoman Widiantara, Ev. Ade Widiantara DR., Ev. Rudy Phietojo, Iwan Djuanda, Sp.OG.(K), dan Nova Loura Sasube, SH. MH., kamu akan diajak menggali berbagai dimensi relasi—dari komunikasi, seksualitas, kesehatan reproduksi, hingga peran hukum dan iman dalam membentuk keluarga Kristen. Biaya kontribusi hanya Rp 1.800.000, dan pendaftaran dibuka hingga 24 Mei 2025. Info lebih lengkap bisa langsung menghubungi:
Catherine: 0851 0036 4025
Marlin: 0821 2345 5852
link pendaftaran: https://bit.ly/pmcjuni25

Jangan tunggu sampai konflik muncul baru kamu belajar. Justru sebelum kamu melangkah lebih jauh, pastikan fondasimu kuat. Karena cinta saja tidak cukup—dibutuhkan komitmen, pemahaman, dan ketundukan bersama kepada Kristus.

Penutup

Saya sangat berharap artikel ini bisa menjadi berkat bagi pembaca, terlebih khusus jika ada dari pembaca adalah pasangan muda yang memutuskan akan menikah, sediakan waktu dan dana untuk bisa mengikuti PMC 2025, masih ada waktu untuk mendaftar kan. Tapi jika pun tidak, luangkanlah waktu untuk menonton podcast di bawah ini, karena artikel ini diadaptasi dari podcast GKM Bakudapa dengan pembicara Pdt. Sentrosel Pailaha, Ev. Dian Mailina dan dipandu oleh bapak Obrin Sualang. Saya sangat mendorong pembaca untuk menonton podcast ini. 


👉  Konten ini diadaptasi dari Podcast "Pembimbingan Pra-nikah" di GMIM Jemaar Kristus Manado, dikembangkan menjadi sebuah artikel dengan berkolaborasi bersama AI, dan telah melalui proses editing oleh CXFranklin.


Tidak ada komentar