Beranda
Lifestyle
Cara Efektif Orang Tua Membimbing Anak Hadapi Konten Seksual Online
April 19, 2025

Cara Efektif Orang Tua Membimbing Anak Hadapi Konten Seksual Online

Remaja Indonesia hari ini hidup dalam dunia yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan globalisasi, batas-batas nilai moral semakin kabur, dan generasi muda dihadapkan pada tantangan yang belum pernah dihadapi oleh generasi sebelumnya. Bulan Januari kemarin saya membahas Parenting Zaman Now: Rahasia Jadi Orang Tua Percaya Diri. Sekarang saya akan mencoba membahas materi yang lebih serius, bagaimana kita sebagai orang tua dan masyarakat dapat membimbing anak-anak kita, generasi muda bangsa untuk menghadapi konten seksual online yang semakin menggila saat ini. 

Berdasarkan data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada Juli 2024, 13,9% remaja di Indonesia telah menggunakan aplikasi kencan daring. Ini bukan sekadar angka statistik, tetapi sebuah peringatan akan mudahnya akses remaja terhadap dunia hubungan virtual yang rentan terhadap eksploitasi, tekanan sosial, dan penyimpangan perilaku seksual.

Lebih dari itu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat data yang mengkhawatirkan: 74% remaja laki-laki dan 59% remaja perempuan melakukan hubungan seks pertama kali di usia 15–19 tahun (Desember 2024). Laporan terbaru Maret 2025 menunjukkan lebih dari 50% gadis remaja dan 70% remaja pria usia serupa menyatakan pernah melakukan hubungan seksual. Ini bukan lagi fenomena pinggiran; ini adalah realitas yang melanda arus utama kehidupan remaja kita.

Angka-angka ini bukan hanya masalah pribadi atau keluarga semata. Ini adalah isu sosial dan budaya yang membutuhkan keterlibatan semua pihak—orang tua, guru, komunitas, organisasi keagamaan, pemerintah, dan masyarakat sipil. Masa depan bangsa sangat bergantung pada bagaimana kita membimbing dan mendampingi generasi muda dalam memahami dirinya, tubuhnya, serta relasinya dengan orang lain atau dengan lawan jenis.

Seminar Parenting

Beberapa waktu lalu saya sempat mengikuti seminar parenting bertajuk "Let’s Talk About Sex Education in Digital Era." Hadir sebagai pembicara Dra. Lanny Herawati, seorang dosen, serta konselor keluarga. Saat ini beliau menjabat sebagai Kepala Pusat Konseling dan Pengembangan Pribadi di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Beliau menyelesaikan pendidikan sarjana di bidang Psikologi Pendidikan dengan minor Teologi dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Dalam pengalamannya, beliau telah membimbing banyak orang tua dan remaja untuk menjembatani kesenjangan komunikasi dalam keluarga, khususnya dalam isu-isu sensitif seperti seksualitas, relasi, dan identitas diri. Pendekatannya yang holistik dan berbasis nilai menjadikan beliau salah satu orang penting dalam pendidikan keluarga di era digital.

Siapa yang Mendidik Anak Kita?

Dalam sesi pembuka seminar, Ibu Lanny mengangkat sebuah pertanyaan reflektif yang sangat baik dan bisa kita renungkan bersama: Siapa sebenarnya yang saat ini paling banyak mempengaruhi dan membentuk cara berpikir anak-anak kita? Banyak orang tua merasa tidak siap, bingung harus mulai dari mana, atau bahkan merasa tabu untuk berbicara tentang seksualitas dengan anak-anak mereka. Ketakutan, atau ketidaktahuan untuk membahas isu ini membuat mereka menyerahkan kendali kepada dunia luar—dan dunia luar dengan cepat mengambil alih peran itu.

Anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan seksualitas yang sehat dan berbasis nilai dari rumah akan mencari jawaban dari media sosial, situs daring, influencer, dan obrolan tidak terfilter di antara teman-temannya. Dunia digital hari ini berbicara lebih keras daripada suara orang tua. Algoritma internet tidak mengenal etika; ia hanya mengenal klik, popularitas, dan sensasi.

Seiring datangnya usia pubertas yang makin dini—sebuah tren yang didukung oleh sejumlah studi global yang mencatat bahwa anak-anak kini mengalami tanda-tanda pubertas lebih awal dibanding generasi sebelumnya—paparan terhadap konten seksual, baik secara visual, verbal, maupun naratif, menjadi semakin merajalela. Faktor lingkungan, gizi, serta pengaruh digital menjadi beberapa penyebab yang mempercepat proses ini. Bahkan anak-anak yang polos sekalipun bisa terjebak dalam lingkaran pencarian jati diri yang salah arah, hanya karena tidak ada orang dewasa yang cukup hadir untuk mendengarkan dan membimbing mereka.

ilustrasi: Orang tua mendampingi anak waktu menggunakan gawai | Foto: ChatGPT AI

Mengajarkan Anak untuk Menghargai Tubuh dan Relasi Sejak Dini

Pendidikan seksualitas yang sehat harus dimulai dari pengakuan bahwa tubuh manusia itu bernilai dan harus dihargai. Nilai-nilai universal dalam kehidupan manusia—seperti menjaga martabat diri, menghormati sesama, dan tidak menyalahgunakan kepercayaan—telah menjadi bagian penting dalam berbagai tradisi budaya dan etika sosial. Mengajarkan remaja untuk tidak menyalahgunakan tubuhnya dan tubuh orang lain adalah bagian dari mendidik mereka menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan penuh hormat terhadap diri sendiri maupun orang lain.

Pendidikan seksualitas bukan semata-mata tentang larangan atau aspek biologis. Ia adalah proses membentuk karakter dan kesadaran sosial. Ketika remaja diajarkan untuk memahami makna komitmen, tanggung jawab, dan kesetiaan dalam relasi, mereka akan lebih siap menghadapi godaan dan tekanan zaman.

Apa yang Terjadi pada Remaja Kita?

Dalam seminar tersebut, saya mendapatkan informasi bahwa banyak remaja kita sedang mengalami disorientasi nilai dan krisis identitas. Beberapa anak usia SMP, bahkan SD kelas atas, telah secara rutin terpapar pornografi—bukan karena mereka mencarinya dengan sengaja, tapi karena algoritma dunia digital menyajikannya secara sistematis dan agresif. Platform seperti TikTok, Instagram, dan bahkan YouTube kerap menyisipkan konten seksual yang halus tapi merusak.

Remaja bisa menjadi korban dari ketidaksiapan lingkungan dewasa. Di tengah lemahnya kontrol sosial, muncul pula praktik yang sangat memprihatinkan, seperti maraknya jasa rental pacar yang ditawarkan secara daring untuk menemani pria dewasa, dengan tarif sekitar 300 ribu rupiah sekali kencan. Ya, Anda tidak salah baca, jasa rental manusia. Menurut laporan CNN Indonesia (Oktober 2022), praktik ini sempat viral di media sosial, dengan berbagai akun menawarkan layanan sewa "teman ngopi" atau "teman jalan" secara terbuka di platform digital. Meski tidak selalu disertai indikasi hubungan seksual, fenomena ini tetap menormalisasi bentuk eksploitasi yang berbahaya bagi perkembangan remaja (Kompas.com, November 2024). Di beberapa kota besar seperti Jabodetabek, Surabaya, dan Makassar, tren ini cukup mengkhawatirkan karena melibatkan remaja usia sekolah yang rentan secara emosional dan psikologis. Praktik seperti ini membuka celah besar terhadap penyalahgunaan, kekerasan, serta kerusakan nilai diri remaja. Ini menandakan bahwa sebagian anak muda kita tidak hanya kehilangan arah, tetapi juga kehilangan penjaga—baik di rumah, sekolah, maupun masyarakat luas.

Di sekolah, guru tidak tahu harus mulai dari mana. Di rumah, orang tua menghindar. Di banyak komunitas keagamaan dan lembaga pendidikan, topik seksualitas masih dianggap tabu. Maka tidak heran jika mereka lebih percaya pada Google atau video viral ketimbang orang tua, guru, atau tokoh masyarakat.

Sampai di titik ini, kita telah melihat bagaimana tantangan seksualitas remaja bukan hanya disebabkan oleh faktor internal anak, tetapi juga oleh kelalaian lingkungan dewasa yang belum siap mendampingi secara terbuka dan bijak. Maka, penting bagi setiap orang tua, pendidik, dan pendamping remaja untuk mulai mengambil langkah nyata. Berikut ini adalah beberapa strategi praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari:

Strategi Praktis untuk Semua Orang Tua dan Pendamping Remaja

1. Mulai Lebih Awal, Jangan Menunggu

Edukasi seksualitas sebaiknya dimulai sejak dini, disesuaikan dengan perkembangan usia dan pemahaman anak. Gunakan cerita sederhana, permainan peran, atau ilustrasi visual yang membantu anak memahami konsep tubuh, privasi, dan rasa aman dengan cara yang sesuai usianya.

Pada usia-usia awal, misalnya saat anak masih kecil, orang tua bisa mulai mengenalkan bagian tubuh mana yang pribadi dan mengajarkan pentingnya berkata "tidak" jika merasa tidak nyaman. Sementara ketika anak mulai beranjak remaja dan mulai mengenal relasi lebih kompleks, pendekatan bisa berubah menjadi percakapan yang lebih dua arah. Misalnya, setelah menonton film bersama yang menampilkan hubungan pacaran, ajak anak mengobrol santai, "Menurut kamu, wajar nggak sih kalau pacar selalu minta update lokasi setiap saat?" atau "Kalau kamu ada di posisi si tokoh cewek di film tadi, kamu bakal gimana?"

Ketika anak sudah di tahap lebih dewasa, seperti di bangku kuliah, orang tua bisa mengajak ngobrol soal realitas relasi yang lebih serius. Contohnya, membahas perbedaan antara cinta yang sehat dan hubungan yang posesif, atau bagaimana mengambil keputusan tentang masa depan tanpa tekanan emosional atau sosial. Obrolan seperti ini, kalau dilakukan dengan cara yang santai dan penuh respek, justru bisa membuat anak merasa didengarkan dan lebih percaya untuk terbuka.

2. Gunakan Bahasa yang Terbuka dan Ramah

Hindari istilah-istilah yang membingungkan atau mengintimidasi. Gunakan bahasa sehari-hari yang dimengerti anak dan ciptakan suasana percakapan yang santai dan tidak menghakimi. Ini akan membantu anak merasa nyaman untuk bertanya dan terbuka.

Misalnya, ketika sedang berkendara atau makan bersama, orang tua bisa menyelipkan pertanyaan ringan seperti, "Eh, kamu sendiri gimana sih lihat teman-teman sekarang yang pacarannya suka dipamerin di medsos?" atau "Kamu pernah ngerasa nggak enak kalau ada teman yang terlalu kepo soal hubunganmu?" Percakapan seperti ini membuka ruang tanpa terasa menggurui. Bahkan ketika anak terlihat cuek, biasanya mereka tetap menyimak. Yang penting, terus ciptakan ritme obrolan yang wajar dan tidak memaksa, supaya anak merasa ini bagian dari hubungan, bukan interogasi.

3. Ajarkan Nilai-nilai Universal

Seperti penghargaan terhadap diri sendiri, batasan pribadi, tanggung jawab dalam relasi, serta pentingnya menghormati orang lain. Nilai-nilai ini penting untuk menumbuhkan kesadaran bahwa hubungan yang sehat didasari oleh rasa hormat dan kesetaraan. Orang tua bisa memulainya dengan mengajak anak ngobrol santai seputar pengalaman mereka dalam berteman: "Kalau ada teman yang suka ngeledek atau ngerendahin kamu di depan orang banyak, menurutmu itu tanda pertemanan yang sehat nggak?" Dari situ, kita bisa bantu anak mengenali bahwa dirinya layak dihormati dan boleh bilang 'tidak' kalau merasa tidak nyaman.

Dalam keluarga Kristen, nilai-nilai seperti kasih, pengampunan, kesetiaan, dan saling menghormati bisa diperkenalkan lewat cerita Alkitab atau pengalaman nyata sehari-hari. Misalnya, ajak anak merenungkan arti kasih yang sabar dan tidak memaksa dari 1 Korintus 13. Tekankan bahwa menjaga kekudusan dan batasan pribadi bukan karena takut dihukum, tapi karena tubuh dan hati kita adalah pemberian Tuhan yang berharga. Dengan begitu, anak memahami bahwa relasi yang sehat bukan cuma soal 'boleh atau tidak', tapi soal menghargai ciptaan Tuhan, termasuk dirinya sendiri dan orang lain.

4. Bangun Ruang Aman dan Relasi Hangat

Ciptakan suasana keluarga yang terbuka dan suportif. Jangan buru-buru menyalahkan ketika anak mengungkapkan perasaannya. Jadilah tempat yang aman untuk curhat, bertanya, dan berdiskusi, termasuk dalam topik-topik sulit sekalipun.

Misalnya, ketika anak pulang sekolah dan terlihat murung, orang tua bisa mulai dengan kalimat ringan seperti, "Kamu kelihatan capek banget, ada yang bikin bete hari ini?" Daripada langsung menasihati, lebih baik dengarkan dulu sampai selesai. Atau ketika anak menceritakan soal teman yang mengalami relasi yang rumit, hindari langsung menghakimi, dan arahkan dengan pertanyaan seperti, "Kalau kamu yang mengalami itu, kira-kira apa yang kamu lakukan?" atau "Menurut kamu, relasi yang sehat itu kayak gimana sih?"

Kadang, momen-momen ringan seperti menjemput anak, memasak bersama, atau duduk bareng di teras bisa jadi kesempatan emas untuk mempererat relasi dan membuka ruang obrolan yang hangat dan jujur.

5. Libatkan Komunitas yang Sehat

Temukan dan bangun komunitas yang memiliki nilai dan pendekatan yang mendukung pertumbuhan remaja secara sehat, baik di lingkungan sekolah, komunitas agama, atau organisasi sosial. Kegiatan kelompok, mentoring, dan diskusi bersama bisa sangat membantu.

Misalnya, ajak anak untuk ikut komunitas pembinaan remaja di gereja, atau terlibat dalam kegiatan pelayanan yang mempertemukan mereka dengan orang-orang muda yang punya nilai hidup positif. Ketika anak bertumbuh dalam komunitas yang menghargai integritas, saling menghormati, dan kejujuran, mereka punya 'teman seperjalanan' yang membantu mereka menguatkan keputusan-keputusan baik dalam hidupnya.

Selain itu, ajak anak bergabung dalam kegiatan rohani seperti persekutuan pemuda, retret, atau kelompok belajar Alkitab yang membahas hal-hal konkret seputar relasi, identitas, dan tanggung jawab pribadi. Kegiatan semacam ini bisa memperluas perspektif mereka dan menanamkan nilai-nilai iman yang hidup, seperti kasih, kesetiaan, dan integritas. Anak akan belajar bahwa iman bukan sekadar rutinitas keagamaan, tapi sumber nilai yang membentuk cara mereka bersikap, memilih, dan membangun relasi dalam keseharian.

6. Orang Tua Perlu Terus Belajar

Tantangan dalam mendampingi anak di era digital terus berkembang. Orang tua perlu memperbarui wawasan dengan membaca buku, mengikuti seminar, podcast, atau forum diskusi. Misalnya, ikut webinar atau seminar parenting, seperti yang saya lakukan, yang membahas kesehatan mental dan relasi remaja, atau mendengarkan podcast tentang cara menjawab pertanyaan anak seputar seksualitas dengan bahasa yang bijak dan penuh kasih. Bisa juga mengikuti kelas bimbingan orang tua di gereja atau komunitas, lalu berdiskusi dengan orang tua lain soal pengalaman dan tantangan serupa. Bersikap terbuka terhadap perubahan zaman bukan berarti mengikuti semua arus, tapi tahu bagaimana bersikap bijaksana dan tetap berpijak pada nilai-nilai iman serta kasih yang menjadi fondasi dalam membesarkan anak.

"Bersikap terbuka terhadap perubahan zaman bukan berarti mengikuti semua arus, tapi tahu bagaimana bersikap bijaksana dan tetap berpijak pada nilai-nilai iman serta kasih yang menjadi fondasi dalam membesarkan anak."

Peran Lembaga Pendidikan dan Komunitas

Sekolah, lembaga agama, dan organisasi masyarakat memiliki peran penting dalam membangun ekosistem pendidikan seksualitas yang sehat. Ini bukan hanya tugas guru agama atau guru biologi, tapi tanggung jawab kolektif dalam menyiapkan generasi muda yang tangguh secara emosional dan etis.

Pendidikan seksualitas bisa masuk dalam kurikulum pembinaan karakter, diskusi kelompok, dan konseling terpadu. Yang penting adalah kesediaan semua pihak untuk membuka ruang dialog yang sehat dan penuh rasa hormat.

Penutup

Di tengah realita yang kompleks—dari angka statistik yang mengkhawatirkan hingga kasus-kasus eksploitasi yang nyata—kita menyadari bahwa pendidikan seksualitas bukan lagi sekadar pilihan, tetapi keharusan. Ini bukan sekadar urusan rumah tangga, tapi urusan bersama: komunitas, gereja, sekolah, pemerintah, dan seluruh masyarakat.

Remaja adalah cermin masa depan bangsa. Jika mereka dibiarkan tanpa pendampingan yang tepat, tanpa nilai yang kokoh, dan tanpa kehadiran figur dewasa yang bisa dipercaya, maka kita sedang menyiapkan generasi yang rapuh menghadapi kerasnya dunia. Namun jika kita hadir—dengan kasih, kesabaran, dan kebijaksanaan—maka kita menanam benih kebaikan yang akan tumbuh menjadi generasi kuat, penuh hormat terhadap diri dan sesama, serta setia pada nilai hidup yang benar.

Tanggung jawab ini bukan milik satu kelompok saja—kita semua punya peran. Entah sebagai orang tua, guru, pembina, tetangga, atau teman, kita bisa jadi bagian dari lingkungan yang hadir, mendengarkan, dan memahami. Kita bisa mulai dari hal-hal kecil: membuka ruang bicara di rumah, lebih peka terhadap curhatan anak, atau sekadar hadir tanpa menghakimi. Justru lewat kehadiran-kehadiran yang tampak sederhana inilah anak-anak bisa merasa aman, dimengerti, dan bertumbuh jadi pribadi yang kuat dan bijak.

Dra. Lanny Herawati dalam penutup seminarnya mengingatkan dengan sangat bijak: jangan hanya larang anak soal HP atau gadget—karena itu bukan solusi utama. Yang dibutuhkan remaja saat ini adalah figur nyata yang mau mendengarkan, membangun komunikasi yang terbuka, dan menjadi teladan hidup yang konsisten. Anak butuh tahu bahayanya kirim dan menerima foto dari orang asing, bahayanya pornografi yang masuk lewat mata, telinga, dan imajinasi. Tapi lebih dari itu, mereka butuh diajak ngobrol tentang perkembangan tubuh, tentang relasi yang sehat, tentang batasan dan pilihan. Dan semuanya dimulai dari keteladanan. Dari orang tua yang hidupnya jujur, bersih, dan tahu bagaimana memelihara kekudusan. Karena menjaga kekudusan bukan hal kuno—itu fondasi karakter yang kuat dan arah hidup yang benar. Inilah nilai yang harus terus kita wariskan.

Mari hadir. Mari peduli. Mari bertindak.

"Menjaga kekudusan bukan hal kuno—itu fondasi karakter yang kuat dan arah hidup yang benar. Inilah nilai yang harus terus kita wariskan."

👉  Konten ini terinspirasi dari seminar parenting "Let’s Talk About Sex Education in Digital Era" di GMIM Jemaar Kristus Manado, dikembangkan menjadi sebuah artikel dengan berkolaborasi bersama AI, dan telah melalui proses editing oleh CXFranklin.

Tidak ada komentar