Beranda
Opini
Opini Denny Indrayana terkait putusan MK atas sengketa Pilpres 2024
April 21, 2024

Opini Denny Indrayana terkait putusan MK atas sengketa Pilpres 2024

Februari lalu saya membuat sebuah opini dengan judul "Kemenangan Prabowo-Gibran itu seperti gol 'tangan Tuhan' Maradona. " Tanggal 20 maret 2024 KPU secara resmi mengumumkan Prabowo-Gibran, paslon 02 menjadi pemenang kontestasi pilpres 2024, yang kemudian digugat oleh paslon 01 dan 03 ke Mahkamah Konstitusi dan memohon/menuntut untuk MK mendiskualifikasi paslon 02 karena menurut mereka ada pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif atau TSM dalam proses pilpres 2024, juga Presiden Joko Widodo yang disebut telah melakukan "cawe-cawe" dalam proses pemilu 2024.

Seperti kita ketahui bersama, sidang MK pun digelar dan terbuka untuk umum, kita semua telah menyaksikan "pertempuran" mereka di arena sidang mahkamah konstitusi. Besok, senin 22 april 2024, akan menjadi hari bersejarah bagi demokrasi di Republik ini.

Menjelang putusan MK besok, Denny Indrayana membuat sebuah postingan di X, yang menurut saya menarik untuk saya kutip di blog ini, demikian isinya:

Denny Indrayana | foto: editor.id

Perzinahan putusan 90 dan mimpi keadilan Pilpres 2024¹

Hari ini, minggu 21 April, adalah hari terakhir Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) Mahkamah Konstitusi untuk memfinalkan putusan Pilpres 2024. Besok Senin putusan tinggal dibacakan, dan sejarah akan mencatat dengan tinta emas keadilan, atau sebaliknya, dengan tinta hitam kedzaliman.

Delapan hakim konstitusi akan menentukan, apakah mereka akan menjadi negarawan pemenang, atau pecundang dalam perang abadi melawan godaan dan serangan tanpa henti: kekuasaan.

Keadilan Pilpres 2024 hanya akan lahir dari rahim Mahkamah Konstitusi yang merdeka, independen dari intervensi akal bulus dan akal fulus, utamanya dari kroni dan oligarki istana.

Tragedi dan mega skandal mahkamah keluarga, melalui putusan 90 paman Usman untuk Gibran, adalah proklamasi terbuka aksi Korupsi-Kolusi-Nepotisme, sekaligus bom dan gol bunuh diri yang meledak, menghancurkan pondasi Mahkamah Konstitusi, dilakukan langsung oleh ketua Anwar Usman, tanpa ragu-ragu, tanpa malu-malu.

Maka, syarat utama bagi Mahkamah Konstitusi melahirkan putusan yang berkeadilan dalam Pilpres 2024 adalah, membangun kembali pondasi dan pilar-pilar keadilan, melalui introspeksi institusional Mahkamah atas putusan 90.

Tidak akan mungkin ada bangunan tegak keadilan Pilpres 2024, yang berdiri di atas pondasi putusan paman Usman untuk Gibran bin Jokowi.

Blunder putusan 90 sebagai hasil perzinahan haram konstitusi, hanya dapat dihalalkan melalui pertobatan nasuha para hakim konstitusi. Itu artinya putusan 90 harus dikoreksi, demi alasan menyelamatkan Pilpres 2024, minimal dengan membatalkan kemenangan curang cawapres Gibran Rakabuming Raka, anak kandung cawe-cawe inkonstitusional Presiden Jokowi.

Melbourne, 21 april 2024
Denny Indrayana

Sebelumnya pada 15 April Denny Indrayana juga membuat sebuah "bocoran" putusan MK yang akan sama-sama kita saksikan besok. Berikut kutipannya,

"Bocoran" Putusan MK soal Pilpres 2024²

"Bagaimana prediksi putusan MK terkait pilpres 2024?" Itulah pertanyaan yang terus saya terima dari banyak orang, offline ataupun online, di Indonesia ataupun di Australia.

Berdasarkan pasal 77 UU MK, juncto Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023, putusan MK dalam sengketa pilpres 2024 ada tiga jenis, yaitu:

1. Permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard);
2. Permohonan dikabulkan; atau
3. Permohonan ditolak.

Saya meyakini, mahkamah tidak akan memutuskan permohonan tidak dapat diterima, karena permohonan paslon 01 dan 03 jelas memenuhi syarat formil untuk diputuskan pokok permohonannya.

Sebelum lebih jauh memprediksi putusan MK, perlu diingat permintaan (petitum) dalam permohonan paslon 01 dan 03, yang pada intinya adalah:

Petitum paslon 01, mendiskualifikasi Paslon 02 (Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka), lalu pemungutan suara ulang (PSU) Pilpres hanya antara paslon 01 dan 03 saja; atau hanya mendiskualifikasi cawapres Gibran Rakabuming Raka, lalu PSU pilpres dengan mengikutsertakan Prabowo Subianto dengan cawapres pengganti Gibran.

Petitum paslon 03, mendiskualifikasi paslon 02 (Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka), lalu pemungutan suara ulang (PSU) pilpres hanya antara Paslon 01 dan 03 saja.

Setelah melihat jalannya persidangan, bukti-bukti yang dihadirkan, termasuk keterangan saksi, ahli dan para menteri, juga memperhatikan komposisi dan rekam jejak delapan hakim konstitusi yang menyidangkan, saya menduga putusan mahkamah adalah diantara EMPAT opsi berikut:

I. OPSI SATU: Mahkamah Konstitusi MENOLAK Seluruh Permohonan, lalu Hanya Memberikan Catatan dan Usulan Perbaikan Pilpres. Dalam opsi satu ini, Mahkamah akan menguatkan keputusan KPU yang memenangkan paslon 02 Prabowo-Gibran, dan hanya memberikan catatan perbaikan penyelenggaraan Pilpres, utamanya kepada KPU dan BAWASLU. Mahkamah pada dasarnya menyatakan dalil-dalil permohonan tidak terbukti. Melihat situasi-kondisi politik-hukum di tanah air, saya berpandangan opsi satu ini yang sangat mungkin menjadi kenyataan.

II. OPSI DUA: Mahkamah Konstitusi MENGABULKAN Seluruh Permohonan. Dalam opsi dua ini, Mahkamah mengabulkan diskualifikasi paslon 02 Prabowo-Gibran, dan melakukan PSU hanya di antara paslon 01 dan 03. Dari semua opsi, melihat situasi-kondisi politik-hukum di tanah air; termasuk rumit dan sulitnya proses pembuktian, saya berpandangan opsi dua ini hampir muskil bin mustahil terjadi.

III. OPSI TIGA: Mahkamah Konstitusi MENGABULKAN Sebagian Permohonan, Yaitu Mendiskualifikasi Cawapres Gibran Rakabuming Raka. Dalam opsi tiga ini, Mahkamah mengabulkan salah satu petitum paslon 01, yang memberi alternatif hanya Gibran yang didiskualifikasi, dan Prabowo dapat kembali ikut PSU dengan pasangan cawapres yang baru. Meskipun mungkin saja terjadi, opsi tiga ini tetap tidak mudah, dan membutuhkan tidak hanya keyakinan hakim ataupun judicial activism, tetapi juga keberanian, pengakuan, dan introspeksi institusional bahwa problem moral-konstitusional pencalonan Gibran bersumber dari putusan 90 Mahkamah sendiri, sebagaimana telah secara terang-benderang diputuskan oleh MKMK.

IV. OPSI EMPAT: Mahkamah Konstitusi MENGABULKAN Sebagian Permohonan, Yaitu Membatalkan Kemenangan Cawapres Gibran Rakabuming Raka, dan Melantik Hanya Capres Prabowo Subianto, lalu memerintahkan dilaksanakannya pasal 8 ayat (2) UUD 1945. Opsi ke empat ini membutuhkan penjelasan lebih panjang, terutama karena tidak ada dalam permohonan paslon 01 maupun 03, sehingga menjadi ultra petita. Dasar amar demikian ada dua, pertama, peradilan sengketa pilpres bukan sengketa perdata, tetapi peradilan konstitusional tata negara, sehingga demi menjaga kehormatan konstitusi, bisa memutuskan di luar permintaan para pihak. Hal mana sudah beberapa kali dilakukan oleh mahkamah.

Kedua, dalam Pasal 53 ayat (2) Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2024 diatur, "Dalam hal dipandang perlu, mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)." Norma tersebut, dapat dimaknai, Mahkamah membuka peluang ultra petita, bukan hanya di luar yang dimintakan para pihak, bahkan pun di luar ketentuan peraturan MK atau bahkan UU MK.

Yang dilakukan bukan pendiskualifikasian paslon 02, karena Mahkamah tidak mendapatkan keyakinan atas pelanggaran TSM paslon 02, di samping tentu ada pula argumen hal demikian adalah kewenangan Bawaslu RI. Bukti-bukti yang dihadirkan tidak cukup untuk menguatkan dalil para pemohon (paslon 01 dan 03). Memang pembuktian sengketa Pilpres sangat rumit dan sulit.

Namun, Mahkamah akhirnya mengambil keputusan membatalkan kemenangan cawapres Gibran Rakabuming Raka, bukan karena persoalan pencawapresan yang sudah terlanjur absah melalui putusan 90 dan berbagai putusan MK sesudahnya. Tetapi, MK memutuskan membatalkan kemenangan cawapres Gibran dengan berbagai pertimbangan konstitusional, antara lain:

1. Cawe-cawe Presiden Joko Widodo terbukti, dari pernyataan dan tindakan Presiden Jokowi sendiri, dan hal demikian melanggar prinsip pemilu Presiden yang LUBER, jujur dan adil sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1);

2. Melalui putusan 90 dan beberapa putusan MK sesudahnya, meskipun secara hukum positif tidak ada lagi persoalan dengan pencawapresan Gibran, namun pelanggaran prinsip anti KKN, khususnya Nepotisme relasi cawapres Gibran dengan Presiden Joko Widodo telah melanggar prinsip pemilu yang dijamin UUD 1945 dan menjadi pelanggaran konstitusi yang intolerable, dan menjadi kemenangan yang harus dibatalkan demi menjaga marwah dan kehormatan konstitusi.

3. Karena yang dapat dibuktikan hanya pelanggaran konstitusi cawe-cawe Presiden Jokowi dan nepotisme cawapres Gibran Rakabuming Raka, sedangkan pelanggaran pasangannya Prabowo Subianto, dianggap mahkamah tidak dapat dibuktikan, maka kemenangan capres Prabowo tetap dikuatkan oleh Mahkamah. Tentu dengan komplikasi, bahwa suara paslon 02 tentunya adalah hasil kerja keduanya sebagai pasangan calon.

Opsi keempat ini sejatinya punya bobot politis, selain yuridis. Karena dia seakan-akan menjadi jalan tengah (kompromis) antara hukum yang moralis-idealis dengan politik yang pragmatis-realistis. Bagi kekuatan politik yang diam-diam menolak dilantiknya cawapres Gibran dengan berbagai alasan, opsi ke empat ini menjadi bagian dari solusi. Karena Pasal 8 Ayat (2) UUD 1945 memberikan waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari bagi MPR untuk memilih wapres dari dua calon yang diusulkan Presiden Prabowo Subianto, tentu setelah pelantikan pada 20 Oktober 2024.

Persoalannya, enam bulan menjelang pelantikan, saya yakin Presiden Jokowi tentu tidak akan diam. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah, seberapa kuat dan berani bukan hanya mayoritas hakim MK, tetapi juga partai-partai politik untuk bersepakat menggolkan opsi putusan ke empat yang demikian. Sejauh ini, belum ada kekuatan politik yang berani melawan pelanggaran bahkan kejahatan konstitusional yang terang-benderang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Hampir semua kita, tunduk dan takluk atas berbagai kedzaliman konstitusi yang sejatinya dilakukan secara telanjang oleh Presiden Jokowi.

Sewajibnya Hakim-Hakim Konstitusi selaku Negarawan, statemanship bukan partisanship, mampu melepaskan diri dari penjajahan, penghambaan, dan ketakutan atas kuasa otoritarian Presiden Jokowi, yang sebenarnya sudah akan berakhir masa jabatannya. Namun, Hakim Konstitusi juga manusia, kecuali ada kejutan luar biasa, terus terang saya tidak yakin, para Hakim Konstitusi mau berkorban dan menjadi pahlawan demi menyelamatkan negara demokrasi konstitusional Republik Indonesia.

Opsi mana yang akan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Akankah ada kejutan? Saya yakin, tidak. Saya prediksi, MK belum punya dukungan bukti dan keberanian untuk memutus di luar opsi putusan yang pertama, yaitu: Menolak seluruh permohonan, dan hanya memberikan catatan perbaikan atas pelaksanaan pilpres 2024.

Melbourne, 15 april 2024
Denny Indrayana

Memang tidak mudah untuk mencari sebuah keadilan, dan jika putusan MK besok sesuai prediksi Denny Indrayana, yaitu MK akan menolak seluruh permohonan, dan hanya memberikan catatan perbaikan atas pelaksanaan pilpres 2024, jujur saya merasa kecewa. 

Tapi kemudian di akhir saya membuat konten ini, saya teringat sebuah postingan facebook dari seorang hamba Tuhan, Pendeta David Tong di hari Pemilu 14 Februari 2024, beliau menulis:  "Anak Tuhan yang dewasa tidak sedih/gembira karena pilihannya kalah/menang, tapi bersukacita karena Kehendak Tuhan terjadi."

I don't know what to say anymore, he's right. 

______

Catatn kaki:
¹ Perzinahan putusan 90 dan mimpi keadilan Pilpres 2024 - https://x.com/dennyindrayana/status/1781834337450967479
² "Bocoran" Putusan MK soal Pilpres 2024  - https://x.com/dennyindrayana/status/1779772481525690430

Tidak ada komentar