![]() |
Ilustrasi: Seseorang memegang kapak. |
Parricide adalah istilah yang merujuk pada tindakan pembunuhan yang dilakukan seorang anak terhadap orang tua kandungnya. Meskipun terdengar ekstrem, tragedi ini bukanlah hal baru. Parricide telah tercatat sejak zaman Romawi kuno dan terus menjadi perhatian hingga masa kini, terutama karena media massa dan penelitian psikologis serta kriminologis yang semakin mendalam.
Di Amerika Serikat, misalnya, kasus seperti Lyle dan Erik Menendez yang membunuh kedua orang tua mereka pada tahun 1989 menjadi sorotan global. Motif yang kompleks, mulai dari dugaan pelecehan hingga perebutan harta, menggambarkan bagaimana konflik keluarga dapat berujung pada tragedi.
Di Indonesia, parricide mungkin belum menjadi istilah yang dikenal luas, tetapi kasusnya semakin sering muncul. Contohnya adalah insiden di Jakarta Selatan tahun 2024 di mana seorang remaja 14 tahun melakukan pembunuhan terhadap ayah dan neneknya, serta kasus di Aceh Besar yang melibatkan anak perempuan membunuh ibunya. Tragedi ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang dinamika keluarga di balik tindakan tersebut.
Perkembangan Parricide di Indonesia
Statistik Kasus Parricide
Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus anak yang berhadapan dengan hukum meningkat dari 1.700 pada tahun 2020 menjadi lebih dari 2.000 pada tahun 2023. Meskipun tidak semuanya terkait parricide, data ini menunjukkan peningkatan keterlibatan anak dalam tindakan kriminal.
Beberapa kasus parricide yang mencuat di Indonesia meliputi:
- Jakarta Selatan (November 2024): Seorang remaja berinisial MAS (14) membunuh ayah dan neneknya serta melukai ibunya. Motifnya diduga terkait tekanan emosional dan gangguan kesehatan mental. Kasus ini kini dalam tahap penyelidikan lebih lanjut oleh kepolisian untuk menentukan detail peristiwa dan motif yang lebih jelas. MAS telah menjalani pemeriksaan psikologis untuk menilai kondisi mentalnya saat kejadian. Pihak berwenang juga mempertimbangkan pendekatan hukum yang mengutamakan rehabilitasi mental mengingat usia pelaku yang masih di bawah umur, sesuai dengan UU Perlindungan Anak. Keterlibatan keluarga dan layanan sosial menjadi fokus untuk memastikan dukungan jangka panjang bagi semua pihak yang terlibat.
- Aceh Besar (Januari 2024): Cut Nur Marlia (25) membunuh ibunya karena sakit hati yang disebabkan konflik berkepanjangan. Konflik ini bermula dari masalah pembagian warisan keluarga yang memicu pertengkaran berkepanjangan antara ibu dan anak. Dalam beberapa kesempatan, kerabat dekat menyatakan bahwa Marlia merasa diabaikan dalam proses tersebut, yang memperburuk perasaan sakit hatinya. Kasus ini menjadi sorotan karena menunjukkan bagaimana konflik keluarga yang tidak terselesaikan dapat berujung pada tragedi. Untuk mencegah kejadian serupa, pentingnya mediasi keluarga dan konseling emosional sangat ditekankan oleh para pakar.
- Jakarta Timur (Juni 2024): Dua remaja perempuan membunuh ayah mereka yang dianggap sering bersikap kasar. Kejadian ini berlangsung di sebuah ruko di Pondok Bambu, Jakarta Timur, yang merupakan tempat tinggal keluarga tersebut. Berdasarkan laporan awal, peristiwa ini terjadi setelah ayah mereka memarahi kedua anaknya yang diketahui mencuri uang untuk keperluan pribadi. Kasus ini diduga berawal dari akumulasi kekerasan verbal dan fisik yang dialami oleh kedua anak tersebut sejak kecil. Menurut keterangan warga sekitar, ayah mereka kerap bertindak keras, baik secara fisik maupun emosional, terhadap anggota keluarga. Para ahli menyoroti pentingnya peran lingkungan sekitar dalam mengenali dan melaporkan pola kekerasan ini sebelum berujung pada tragedi. Pihak berwenang juga menggarisbawahi perlunya intervensi lebih dini melalui layanan konseling keluarga dan pendampingan psikologis untuk mencegah konflik yang memuncak.
Penyebab Parricide
Tragedi parricide memiliki penyebab yang kompleks, di antaranya:
-
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT): Anak yang menjadi korban kekerasan fisik, emosional, atau seksual sering melihat pembunuhan sebagai jalan keluar dari tekanan. Kekerasan yang berulang dapat menciptakan trauma mendalam dan rasa putus asa, yang mendorong anak untuk mengambil langkah drastis sebagai upaya bertahan hidup.
- Sumber: Komnas Perempuan, laporan tahunan tentang kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia (https://komnasperempuan.go.id).
-
Gangguan Kesehatan Mental: Beberapa pelaku memiliki riwayat gangguan mental, seperti psikosis, bipolar, atau depresi berat. Gangguan ini dapat memengaruhi cara mereka memproses emosi dan menghadapi konflik. Kurangnya akses terhadap layanan kesehatan mental sering memperburuk situasi, membuat pelaku merasa tidak memiliki alternatif lain.
- Sumber: WHO, laporan tentang kesehatan mental remaja dan dampaknya pada perilaku agresif (https://www.who.int).
-
Konflik Keluarga: Lingkungan keluarga yang tidak harmonis atau pola asuh otoriter dapat memicu tekanan emosional yang hebat. Konflik berkepanjangan, terutama yang melibatkan kekerasan verbal atau manipulasi emosional, dapat menciptakan lingkungan yang tidak sehat, di mana anak merasa terjebak tanpa jalan keluar.
- Sumber: Artikel di jurnal Psikologi Indonesia, membahas dinamika konflik dalam keluarga (http://jurnalpsikologi.com).
-
Pengaruh Media dan Lingkungan: Paparan terhadap kekerasan melalui media, seperti film atau game yang mempromosikan tindakan agresif, dapat memengaruhi pola pikir anak. Selain itu, lingkungan sosial yang penuh kekerasan juga dapat memperkuat persepsi bahwa kekerasan adalah cara yang dapat diterima untuk menyelesaikan konflik.
- Sumber: UNESCO, penelitian tentang pengaruh media kekerasan terhadap perilaku remaja (https://unesco.org).
-
Masalah Ekonomi: Konflik terkait keuangan dalam keluarga sering kali menjadi pemicu utama parricide. Tekanan ekonomi yang ekstrem dapat memperburuk ketegangan dalam keluarga, memicu perselisihan antara orang tua dan anak. Dalam beberapa kasus, anak merasa bahwa membunuh orang tua adalah solusi untuk mengakhiri penderitaan mereka atau memperoleh kebebasan finansial.
- Sumber: BPS (Badan Pusat Statistik), laporan tentang hubungan tekanan ekonomi dan konflik keluarga (https://bps.go.id).
Strategi Pencegahan Parricide
Pencegahan parricide membutuhkan pendekatan komprehensif yang melibatkan keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah:
-
Mengenali Tanda-Tanda Bahaya: Perubahan perilaku anak, seperti menarik diri atau menunjukkan agresivitas, perlu diantisipasi. Contohnya, anak yang mendadak menjadi pendiam atau sering marah-marah tanpa alasan jelas mungkin menyimpan masalah mendalam. Solusinya, orang tua dapat mulai dengan membangun suasana yang nyaman untuk berbicara, misalnya dengan melibatkan anak dalam aktivitas bersama yang santai. Jika perlu, orang tua bisa berkonsultasi dengan psikolog untuk mendapatkan panduan dalam menangani perubahan perilaku anak.
-
Membangun Komunikasi Sehat: Komunikasi yang terbuka dan saling menghargai membantu mencegah konflik yang berlarut-larut. Contohnya, orang tua dapat mulai dengan aktivitas sederhana seperti makan bersama tanpa gangguan gadget. Aktivitas ini dapat membuka ruang percakapan yang santai, sehingga anak merasa lebih nyaman untuk berbagi cerita atau masalah mereka. Solusinya, orang tua perlu konsisten meluangkan waktu untuk berbicara dengan anak setiap hari, tidak hanya saat ada masalah. Jika konflik muncul, penting untuk mendengarkan dengan empati tanpa menyalahkan, sehingga anak merasa didukung.
-
Memberikan Dukungan Psikologis: Anak yang menunjukkan tekanan emosional atau gangguan mental perlu segera mendapatkan bantuan profesional. Contohnya, seorang anak yang menunjukkan gejala seperti sering menangis tanpa alasan jelas, sulit tidur, atau kehilangan minat pada aktivitas favoritnya mungkin memerlukan perhatian khusus. Solusinya, orang tua dapat menghubungi psikolog anak untuk mengevaluasi kondisi emosional anak dan memberikan terapi yang sesuai. Selain itu, bekerja sama dengan konselor sekolah juga dapat membantu dalam menciptakan lingkungan yang mendukung pemulihan anak.
-
Meningkatkan Kesadaran Pola Asuh: Pola asuh yang seimbang antara disiplin dan kasih sayang penting untuk mencegah kebencian atau ketakutan dalam hubungan anak dan orang tua. Contohnya, orang tua yang terlalu otoriter mungkin melarang anak secara berlebihan tanpa menjelaskan alasannya, yang dapat memicu rasa benci atau pemberontakan. Sebaliknya, orang tua yang terlalu permisif mungkin membuat anak merasa tidak diperhatikan. Solusinya adalah menerapkan pola asuh yang berimbang, misalnya dengan memberi aturan yang jelas tetapi juga mendengarkan pendapat anak. Orang tua juga dapat mengikuti pelatihan parenting untuk memahami kebutuhan emosional dan psikologis anak.
-
Edukasi di Sekolah dan Masyarakat: Program pendidikan yang mengajarkan manajemen emosi dan pentingnya komunikasi keluarga dapat membantu anak dan orang tua menghadapi konflik dengan lebih sehat. Contohnya, sekolah dapat mengadakan seminar tentang pengelolaan emosi atau pelatihan komunikasi untuk siswa dan orang tua. Selain itu, program Bimbingan Konseling (BK) di sekolah juga sangat penting dalam mendeteksi dan menangani masalah emosional serta konflik yang dialami oleh siswa. Guru BK dapat memberikan sesi konseling individu, membangun kepercayaan siswa untuk berbicara tentang masalah mereka, dan memberikan panduan praktis untuk menyelesaikan konflik keluarga. Dalam masyarakat, kampanye kesadaran seperti lokakarya atau diskusi kelompok tentang pentingnya hubungan keluarga yang harmonis juga dapat diadakan. Solusinya, pemerintah dan lembaga pendidikan perlu menjalin kerja sama untuk menyelenggarakan program-program ini secara rutin dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat.
Peran Masyarakat dalam Pencegahan
Masyarakat juga memiliki peran penting dalam mencegah parricide, terutama dalam menciptakan lingkungan yang mendukung dan proaktif terhadap tanda-tanda kekerasan keluarga. Misalnya, tetangga yang memperhatikan perilaku mencurigakan, seperti teriakan atau tanda-tanda kekerasan fisik, dapat segera melaporkan ke pihak berwenang atau lembaga sosial terkait. Namun, perlu dicatat bahwa informasi spesifik mengenai contoh kasus harus diverifikasi secara mendalam untuk memastikan akurasi. Laporan masyarakat tentang kekerasan domestik sering kali berperan penting dalam mencegah tragedi yang lebih besar, seperti yang diungkapkan dalam berbagai artikel dan laporan media terkait peningkatan laporan kasus KDRT di Indonesia. Salah satu inisiatif yang patut dicontoh adalah kampanye "Keluarga Harmonis" di Yogyakarta pada tahun 2022, yang menunjukkan pentingnya kolaborasi masyarakat dan pemerintah dalam membangun lingkungan yang aman bagi keluarga.
Perspektif Spiritual
Pendekatan spiritual dapat menjadi fondasi dalam membangun keluarga yang harmonis. Dalam tradisi Kristen, ajaran Alkitab menekankan pentingnya hubungan yang saling menghormati antara orang tua dan anak. Salah satu ayat yang sering dijadikan pedoman adalah Efesus 6:1-4, yang mengingatkan anak-anak untuk menaati orang tua mereka dalam Tuhan karena itu benar, serta memberi tanggung jawab kepada orang tua untuk mendidik anak-anak mereka dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Selain itu, Amsal 22:6 menegaskan pentingnya mendidik anak sejak dini dalam jalan yang benar, agar mereka tidak menyimpang ketika dewasa. Pendeta Stephen Tong, seorang teolog Kristen ternama, juga menekankan pentingnya keluarga sebagai tempat pertama untuk menanamkan iman dan nilai-nilai moral. Dalam salah satu khotbahnya, ia menyebutkan bahwa "keluarga adalah gereja kecil di mana orang tua bertanggung jawab menjadi teladan kasih dan kebenaran bagi anak-anak mereka." Referensi ini menggarisbawahi bagaimana nilai-nilai spiritual dan pandangan teologis dapat membentuk hubungan keluarga yang sehat dan mencegah konflik yang merusak.
Penutup
Parricide mencerminkan dinamika keluarga yang bermasalah dan membutuhkan perhatian serius. Dengan memahami penyebabnya dan mengambil langkah pencegahan yang tepat, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat, suportif, dan aman bagi setiap anggota keluarga. Hal ini mencakup upaya bersama dari keluarga, masyarakat, dan institusi untuk mendukung kesehatan emosional dan mental individu, khususnya anak-anak yang rentan terhadap tekanan dalam lingkungan yang tidak harmonis.
Setiap individu memiliki peran untuk mendukung dan menciptakan komunitas yang peduli terhadap kesejahteraan keluarga, misalnya dengan menjadi pendengar yang baik, melaporkan tanda-tanda kekerasan dalam rumah tangga, atau berpartisipasi dalam program pendidikan dan konseling keluarga. Mari kita jadikan kepedulian ini sebagai langkah awal untuk membangun generasi yang lebih baik, bebas dari konflik yang destruktif. Semoga wawasan ini menginspirasi pembaca untuk terlibat dalam upaya kolektif menciptakan perubahan positif, dimulai dari lingkup terkecil, yaitu keluarga.
👉 Konten ini dibuat berdasarkan ide dari penulis, dan dikembangkan menjadi sebuah artikel menggunakan bantuan Ai Chat-GPT, dan telah melalui proses editing oleh CXFranklin.
Tidak ada komentar