Beranda
Kesehatan
Rantai Risiko Penderita Hipertensi Yang Perlu Diketahui
November 03, 2025

Rantai Risiko Penderita Hipertensi Yang Perlu Diketahui

Ada masa dalam hidup ketika tubuh memberi tanda, tapi kita tak sepenuhnya mengerti maknanya.

Bagi saya, tanda itu datang dalam bentuk kepala yang terasa sangat berat dan berputar hebat, sangat pusing dan sangat kesulitan untuk saya bisa duduk sekalipun. Itu terjadi sekitar akhir 1990-an, saat usia masih muda. Saya dibawa ke IGD RS Pancaran Kasih Manado, saya ingat waktu itu perawat sempat beberapa kali memompa tensimeter atau sfigmomanometer yang dibungkus ke lengan saya seakan tidak percaya dengan hasil tensimeter dan hitungan yang dia lakukan. Saya lupa waktu itu saya umur berapa, tapi perwatnya sempat tanya umur saya waktu itu. Mungkin dia kaget usia muda sudah kena hipertensi. 

Sejak hari itu, saya bergabung dalam kelompok besar yang disebut “penderita hipertensi.”

ilustrasi, seorang pasien hipertensi sedang diperiksa oleh perawat dengan tensimeter.

Waktu berjalan, obat menjadi bagian dari keseharian, dan saya belajar sesuatu yang sederhana tapi penting: hipertensi bukan sekadar angka di alat tensi. Ia adalah perjalanan panjang yang memengaruhi seluruh sistem tubuh, terutama jantung dan ginjal.

Fakta uniknya, saya bukan satu-satunya di keluarga. Opa, mama, om, dan tante-tante saya juga mengidap tekanan darah tinggi. Baru kemudian saya tahu bahwa hipertensi tidak hanya lahir dari gaya hidup, tetapi juga dapat diwariskan secara genetik. Penelitian menunjukkan bahwa variasi pada sistem renin–angiotensin–aldosteron (RAAS) — sistem yang mengatur keseimbangan cairan dan tekanan darah — membuat sebagian orang lebih rentan terhadap hipertensi dibanding yang lain. Faktor keturunan inilah yang menempatkan banyak keluarga pada risiko yang sama, bahkan dengan pola hidup yang tampak biasa.

Ketika Tekanan Darah Menjadi Awal dari Rantai Risiko

Tekanan darah tinggi bekerja dengan cara yang tenang tapi pasti. Tidak menimbulkan nyeri, tidak selalu menyebabkan pusing, namun diam-diam memberi beban berlebih pada jantung.

Setiap kali darah dipompa melalui pembuluh yang sempit atau kaku, jantung harus mengerahkan tenaga lebih besar. Dalam jangka panjang, hal ini menyebabkan penebalan otot jantung bagian kiri (hipertrofi ventrikel kiri) — bentuk adaptasi alami terhadap tekanan tinggi. Namun adaptasi itu memiliki harga mahal: otot jantung yang menebal akan kehilangan kelenturannya. Ia menjadi kaku, menurunkan kemampuan jantung memompa darah, dan pada akhirnya membuka jalan menuju gagal jantung.

Riset di Journal of the National Medical Association menjelaskan bahwa tekanan darah tinggi kronis menyebabkan fibrosis miokard, yakni terbentuknya jaringan parut di otot jantung yang menghambat kontraksi normal. Proses ini berlangsung perlahan, nyaris tanpa gejala, tetapi membawa jantung menuju kelelahan fungsional yang tak terhindarkan.

Dari Pembuluh Darah ke Penyakit Jantung Koroner

Selain membebani otot jantung, hipertensi juga mempercepat kerusakan pembuluh darah.
Lapisan dalam pembuluh darah (endotel) yang normalnya halus menjadi kasar dan rentan ditempeli lemak serta kolesterol. Inilah yang disebut aterosklerosis — proses penyempitan yang menyebabkan penyakit jantung koroner.

Data dari beberapa rumah sakit di Indonesia menguatkan kaitan ini. Penelitian di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang menemukan bahwa pasien dengan hipertensi lebih dari 10 tahun memiliki risiko hampir tiga kali lipat terkena penyakit jantung koroner dibanding yang baru beberapa tahun. Penelitian lain di RSUD Cengkareng menunjukkan bahwa penderita hipertensi memiliki kemungkinan dua kali lebih besar mengalami serangan jantung dibandingkan pasien tanpa hipertensi.
Sementara di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, risiko itu mencapai 2,6 kali lipat lebih tinggi.

Jika ditarik dalam konteks global, meta-analisis yang melibatkan lebih dari 600 ribu pasien menunjukkan bahwa penurunan tekanan sistolik sebesar 10 mmHg saja dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner hingga 17%, stroke 27%, gagal jantung 28%, dan kematian dini 13%.
Sebuah angka kecil di alat tensimeter, tapi berdampak luar biasa bagi keberlangsungan hidup.

Hipertensi, Ginjal, dan Lingkaran yang Tak Mudah Diputus

Hubungan antara tekanan darah dan ginjal sangat erat — bahkan saling memperburuk satu sama lain.
Tekanan darah tinggi merusak pembuluh halus di ginjal, membuat organ itu kehilangan kemampuan menyaring limbah dari darah dengan efektif. Sebaliknya, ketika fungsi ginjal menurun, tubuh menahan lebih banyak cairan dan natrium, yang justru membuat tekanan darah semakin tinggi.

Inilah lingkaran dua arah yang menjadi salah satu tantangan besar dalam pengobatan hipertensi kronis.
Banyak pasien, termasuk saya, akhirnya menghadapi penurunan fungsi ginjal selain karena gagal menjaga pola hidup, juga karena adanya hipertensi menahun yang telah meninggalkan jejak jangka panjang pada organ vital ini. Tidak heran jika pengendalian hipertensi kini selalu diiringi dengan pemantauan fungsi ginjal melalui pemeriksaan kreatinin atau eGFR secara berkala.

Ketika Faktor Genetik Bertemu Gaya Hidup Modern

Faktor keturunan memang berperan, namun ia bukan satu-satunya alasan mengapa hipertensi begitu meluas. Gaya hidup modern mempercepat kemunculannya: asupan garam berlebih, pola makan cepat saji, stres kronis, kurang tidur, dan minim aktivitas fisik semuanya menjadi pemicu nyata.

Survei Kesehatan Indonesia (2023) menunjukkan bahwa 34,5% penduduk Indonesia berusia 18 tahun ke atas kini hidup dengan hipertensi — angka yang naik dari 25,8% satu dekade lalu. Lebih mengkhawatirkan lagi, hipertensi kini juga menyerang kelompok usia muda: 10,7% usia 18–24 tahun dan 17,4% usia 25–34 tahun. Fenomena ini menunjukkan bahwa tekanan darah tinggi bukan lagi persoalan “usia,” melainkan hasil pertemuan antara genetik dan kebiasaan hidup yang tak seimbang.

Mengapa Pengendalian Hipertensi Begitu Penting

Ketika tekanan darah terjaga dalam batas normal, jantung dan pembuluh darah memperoleh kesempatan untuk beristirahat. Namun ketika tekanan itu terus dibiarkan tinggi, seluruh sistem bekerja di bawah tekanan konstan: jantung memompa lebih keras, pembuluh menebal, ginjal menurun, dan otak pun rentan terhadap stroke.

Kabar baiknya, banyak penelitian menunjukkan bahwa perubahan sederhana bisa memberi dampak besar. Mengurangi konsumsi garam hingga kurang dari 5 gram per hari, memperbanyak sayur dan buah kaya kalium, berolahraga teratur, serta tidak menghentikan obat tanpa arahan dokter terbukti mampu menurunkan risiko komplikasi kardiovaskular secara signifikan.

Sayangnya, banyak pasien berhenti minum obat begitu merasa “sudah sehat.” Padahal tekanan darah yang normal bukan tanda sembuh, melainkan hasil pengendalian. Ketika pengobatan dihentikan, tekanan itu perlahan kembali naik — dan siklus risiko pun terulang.

Sebuah Kesimpulan: Tekanan Darah, Tekanan Hidup, dan Pilihan Kita

Hipertensi adalah penyakit yang tak terlihat namun nyata. Ia berjalan perlahan, tanpa gejala, tapi meninggalkan kerusakan sistemik pada jantung, pembuluh darah, dan ginjal. Namun sebagaimana ia berkembang dalam diam, pengendaliannya juga bisa dimulai dalam hal-hal kecil: kesadaran, pemeriksaan rutin, dan konsistensi dalam pengobatan.

Bagi sebagian orang, seperti saya, hipertensi adalah teman lama yang tidak akan pergi.
Tapi ia bisa dijaga agar tidak berubah menjadi musuh. Menurunkan tekanan darah bukan hanya soal menekan angka — itu cara kita memberi jantung kesempatan untuk terus berdetak, lebih kuat dan lebih lama.

Disclaimer

Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait hubungan hipertensi dan penyakit jantung untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pembelajaran dan informasi pelengkap. Walaupun menggunakan berbagai referensi medis terpercaya (WHO, Survei Kesehatan Indonesia 2023, serta berbagai penelitian rumah sakit di Indonesia), tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik, dan tidak dimaksudkan sebagai pengganti konsultasi medis profesional.


Tidak ada komentar