Ada yang menarik dari kehidupan masyarakat Indonesia belakangan ini. Di banyak kota, kita dapat menemukan lapak-lapak pakaian bekas bertumpuk-tumpuk dengan aroma kapur barus yang menyengat, dan pengunjung yang antusias membongkar tumpukan baju bekas satu per satu. Di sanalah mereka mencari jaket vintage, celana branded, atau kemeja yang “masih seperti baru.” Aktivitas ini dikenal dengan banyak nama—di Manado, dikenal dengan 'cakar bongkar' atau 'baju cabo', atau juga dikenal dengan thrifting.
![]()  | 
| ilustrasi - tumpukan baju cabo | foto antaranews.com | 
Bagi sebagian orang, thrifting adalah gaya hidup: cara cerdas untuk tampil keren tanpa perlu mengeluarkan banyak uang. Bagi yang lain, ini wujud kreativitas dan kesadaran lingkungan: memakai ulang pakaian agar tidak menambah sampah tekstil. Tapi di balik semangat hemat dan ide kreatif itu, ada cerita yang jauh lebih kompleks—tentang hukum, ekonomi, dan bahkan kedaulatan bangsa.
Praktik thrifting sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Sejak awal 2010-an, kegiatan ini semakin populer, terutama di kalangan anak muda. Mereka menikmati sensasi mencari barang unik, murah, dan kadang bermerk. Media sosial ikut mempercepat tren ini. Di TikTok dan Instagram, muncul ribuan konten bertema thrift haul yang menunjukkan hasil perburuan dari pasar pakaian bekas. Sebagian penjual bahkan mengemas toko mereka secara estetik, memberi kesan ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Namun, tren yang tampak sederhana ini ternyata memiliki sisi gelap yang tidak banyak diketahui publik. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Perdagangan, impor pakaian bekas di Indonesia naik turun secara tajam dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2020, nilainya mencapai 41,6 juta dolar AS, tertinggi dalam sejarah. Meski pemerintah telah melarang impor pakaian bekas sejak 2021, data menunjukkan bahwa hingga pertengahan 2025 nilainya masih mencapai 1,31 juta dolar AS—naik 177% dibanding tahun sebelumnya. Artinya, ada arus besar barang bekas dari luar negeri yang masih terus masuk, sebagian besar melalui jalur ilegal.
Pakaian-pakaian ini datang dari berbagai negara maju seperti Hong Kong, Taiwan, Singapura, Amerika Serikat, dan Jepang. Barang dikirim dalam karung besar, sering kali tanpa proses pemeriksaan kebersihan atau sanitasi. Di dalam negeri, mereka disortir, dijual, dan akhirnya memenuhi pasar-pasar lokal. Di titik inilah garis batas antara thrifting yang “menyenangkan” dan yang “merugikan” menjadi kabur.
Pemerintah sebenarnya tidak melarang kegiatan thrifting. Yang dilarang adalah impor pakaian bekas dari luar negeri. Dasar hukumnya jelas: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan mewajibkan barang impor dalam keadaan baru. Larangan ini diperkuat lewat Permendag Nomor 40 Tahun 2022 dan Permendag Nomor 24 Tahun 2025. Pelanggar bisa dijatuhi hukuman penjara lima tahun dan denda hingga lima miliar rupiah. Bagi pelaku penyelundupan, Kementerian Keuangan tengah menyiapkan peraturan tambahan berupa blacklist seumur hidup.
Namun, di luar pelanggaran hukum, masalah yang paling terasa adalah dampaknya terhadap ekonomi dan lingkungan. Industri tekstil Indonesia mempekerjakan lebih dari setengah juta orang, sebagian besar di sektor konveksi kecil dan menengah. Barang impor ilegal, yang dijual jauh lebih murah karena bebas pajak dan bea masuk, membuat produk dalam negeri kehilangan daya saing. Banyak pelaku UMKM yang harus mengurangi produksi atau bahkan menutup usaha. Dalam dua dekade terakhir, negara kehilangan potensi pendapatan sekitar 7,1 triliun rupiah akibat maraknya penyelundupan pakaian bekas.
Selain persoalan ekonomi, ada pula ancaman kesehatan yang tidak bisa diabaikan. Pakaian bekas impor tidak melalui proses sterilisasi atau karantina. Beberapa studi menemukan bahwa bahan tekstil semacam ini dapat membawa jamur, bakteri, dan parasit yang berpotensi menyebabkan penyakit kulit atau infeksi. Tidak ada jaminan keamanan bagi konsumen karena barang-barang ini tidak melewati standar pemeriksaan resmi.
Dari sisi lingkungan, dampaknya bahkan lebih besar. Hanya sekitar 30 hingga 40 persen pakaian bekas impor yang benar-benar layak pakai. Sisanya, sekitar 60 hingga 70 persen, berakhir di tempat pembuangan akhir. Ketika tidak laku dijual, barang-barang itu dibakar atau menumpuk sebagai sampah tekstil yang sulit diurai. Negara-negara seperti Chile dan Ghana sudah lebih dulu mengalami hal ini: ribuan ton pakaian bekas dari luar negeri kini menumpuk di padang pasir dan pantai mereka. Indonesia sedang bergerak menuju situasi serupa. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia bahkan mengingatkan, “Jangan jadikan Indonesia tempat sampah dunia.”
Namun demikian, tidak adil juga jika semua bentuk thrifting dianggap negatif. Pemerintah secara tegas menyatakan bahwa thrifting lokal diperbolehkan. Aktivitas jual-beli pakaian bekas dari produksi dalam negeri diatur secara legal dalam KBLI 47742. Kegiatan ini justru mendukung ekonomi sirkular: memperpanjang umur pakaian, mengurangi limbah, dan menciptakan lapangan kerja baru. Banyak pelaku UMKM kini mengembangkan model bisnis upcycling dan rework—mengubah pakaian bekas menjadi produk baru dengan desain segar. Dari perspektif lingkungan dan ekonomi kreatif, inilah bentuk thrifting yang sehat dan berkelanjutan.
Untuk menegakkan aturan dan sekaligus melindungi pedagang kecil, pemerintah mengambil langkah berlapis. Dalam dua tahun terakhir, lebih dari dua puluh ribu bal pakaian bekas ilegal disita dengan nilai mencapai seratus dua puluh miliar rupiah. Penindakan difokuskan pada importir besar dan penyelundup, bukan pedagang eceran. Pedagang diberi waktu menjual sisa stok sebelum diarahkan beralih ke produk lokal. Kementerian Koperasi dan UKM bahkan membuka pelatihan bagi mereka untuk memulai usaha thrifting legal berbasis produk dalam negeri.
Tetapi pada akhirnya, semua kebijakan ini hanya akan efektif jika masyarakat ikut sadar. Sebagaimana dikatakan oleh pejabat Kemenperindag, “penyelundupan masih ada karena ada permintaan.” Artinya, peran konsumen sama pentingnya dengan penegakan hukum. Kita perlu memahami bahwa keputusan sederhana membeli satu potong baju bisa berdampak luas: terhadap ekonomi, terhadap lingkungan, dan terhadap martabat bangsa di mata dunia.
Fenomena thrifting adalah potret menarik dari masyarakat modern: hemat, kreatif, dan terbuka, tetapi sering kali tanpa kita sadar ikut menumpuk persoalan baru. Tidak ada yang salah dengan gaya hidup hemat. Namun, hemat yang tidak bijak bisa juga berubah menjadi beban sosial yang besar. Di sinilah letak tanggung jawab kita sebagai konsumen.
Saya menghimbau untuk kita bijak memilih—perhatikan dari mana barang itu berasal, siapa yang diuntungkan, dan apa dampaknya bagi sekitar kita. Jika ingin tetap berhemat, sebaiknya kita melakukan dengan kesadaran. Pilih produk lokal, dukung pelaku usaha kecil, dan bantu pemerintah menjaga pasar agar tetap bersih dari penyelundupan. Saya juga konsumen thrifting, dan dulu saya tidak tahu kalau ini merugikan negara. Sekarang saya sudah tahu, dan saya akan mengambil sikap.
Baju cabo mungkin hanyalah cara sederhana untuk berhemat, tetapi di balik setiap tumpukan pakaian itu ada kisah besar tentang ekonomi bangsa, tentang lapangan kerja, dan tentang bumi yang menanggung limbah kita. Maka setiap kali kita “membongkar” tumpukan pakaian bekas, semoga kita juga membongkar kesadaran baru—bahwa gaya hidup yang baik bukan sekadar murah dan menarik, tetapi juga bertanggung jawab.
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena thrifting (cakar bongkar/cabo) di Indonesia untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

Tidak ada komentar