Pendahuluan
Di era digital, istilah seperti “login” dan “logout” tak hanya berlaku untuk akun media sosial, tetapi mulai digunakan untuk menjelaskan fenomena berpindah agama. Artis, influencer, bahkan teman-teman terdekat kita mungkin pernah menjadi contoh hidup dari fenomena ini—dari Kristen ke agama lain, atau sebaliknya. Tidak sedikit yang mengumumkannya secara publik, seolah menandai pencarian makna spiritual sebagai sesuatu yang harus dibagikan ke dunia.
Perpindahan agama ini seringkali menjadi viral dan memunculkan pertanyaan besar: apakah semua agama itu sama? Jika iya, mengapa harus pindah? Jika tidak, bagaimana kita menjelaskan perbedaannya tanpa menyinggung atau menghakimi? Mengapa begitu banyak orang yang merasa perlu mengganti keyakinan demi merasa lebih 'nyaman secara spiritual'?
![]() |
ilustrasi: Agama-agama di dunia. Gambar: google image. |
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya untuk akademisi atau teolog, tetapi menyentuh kehidupan kita sehari-hari sebagai orang Kristen. Inilah panggilan apologetika masa kini: bukan sekadar berdebat soal doktrin, tetapi menjelaskan mengapa kita percaya kepada Yesus dengan cara yang penuh kasih dan menghargai orang lain. Kita dipanggil bukan untuk menang dalam perdebatan, melainkan untuk memberi kesaksian yang hidup akan kebenaran Injil.
Bagian I: Apa Itu Pluralisme, dan Apa Bedanya?
Pluralisme sering dibicarakan sebagai sesuatu yang patut disambut dengan positif. Namun, untuk memahami posisi iman Kristen, kita perlu membedakan dua bentuk pluralisme yang sering disamakan: pluralisme sosial dan pluralisme teologis.
-
Pluralisme sosial adalah kenyataan bahwa masyarakat kita beragam. Kita hidup di tengah-tengah dunia yang penuh warna—beragam suku, bahasa, budaya, dan tentu saja keyakinan. Ini adalah bentuk pluralisme yang kita akui dan syukuri, karena menciptakan ruang bagi toleransi dan kerjasama. Dalam konteks Indonesia, ini adalah fondasi penting dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
-
Pluralisme teologis, di sisi lain, adalah pandangan bahwa semua agama sama-sama benar dan sah sebagai jalan keselamatan. Di sinilah kekristenan harus memberi klarifikasi, karena pandangan ini tidak sejalan dengan kekristenan. Kekristenan meyakini bahwa jalan keselamatan hanya melalui Yesus Kristus—yaitu pengakuan bahwa hanya melalui Yesus Kristus, satu-satunya jalan, kebenaran, dan hidup, seseorang dapat datang kepada Bapa dan memperoleh keselamatan kekal, seperti tercatat dalam Yohanes 14:6.
Sebagai orang Kristen, kita bisa dan harus menerima pluralisme sosial, tanpa harus tunduk pada pluralisme teologis. Kita bisa hidup berdampingan tanpa mengorbankan kebenaran iman. Kita bisa menghargai keberagaman, sambil tetap bersaksi bahwa kebenaran tidak mungkin relatif.
Bagian II: Apakah Benar Semua Agama Sama?
Salah satu idiom yang sering digunakan dalam konteks pluralisme adalah "banyak jalan menuju Roma". Tapi benarkah semua jalan mengarah ke tempat yang sama? Jika iya, mengapa orang masih berpindah dari satu agama ke agama lain? Apakah tidak cukup menjalani apa yang sudah diyakini?
Fenomena perpindahan agama justru menunjukkan bahwa perbedaan itu nyata dan signifikan. Tidak semua agama mengajarkan hal yang sama tentang Tuhan, manusia, keselamatan, dan kehidupan setelah kematian. Perbedaan ini bukan ilusi; ia konkret, memiliki implikasi eksistensial, bahkan kekal.
Apakah mengakui bahwa agama-agama berbeda berarti kita menghakimi? Tidak. Mengakui perbedaan adalah bentuk kejujuran intelektual dan spiritual. Dan dalam iman Kristen, kebenaran memang bersifat ofensif—bukan karena niatnya menyakiti, tetapi karena ia menyingkapkan kenyataan yang sulit diterima semua orang. Kebenaran memang tidak selalu populer, tetapi tetap harus diwartakan.
Bagian III: Apa yang Membuat Kekristenan Berbeda?
Apa sebenarnya yang membedakan iman Kristen dari keyakinan lainnya? Beberapa hal berikut adalah pilar keunikan kekristenan:
-
Allah Tritunggal – Satu Allah, tiga pribadi: Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Kekristenan adalah monoteistik, namun tidak monolitik. Artinya, meskipun kita percaya pada satu Allah, kita tidak memahaminya sebagai satu kesatuan yang kaku atau tidak berpribadi. Sebaliknya, dalam keberadaan-Nya yang esa, Allah menyatakan diri sebagai tiga pribadi yang saling mengasihi dan bekerja bersama dalam kesatuan yang sempurna. Allah bukanlah konsep abstrak, tetapi pribadi yang hidup, penuh kasih, dan relasional dalam diri-Nya sendiri. Relasi kasih yang kekal ini menjadi dasar dari kasih yang kita alami sebagai umat-Nya.
-
Yesus Kristus – Allah yang menjadi manusia. Bukan sekadar nabi atau guru, tetapi Tuhan yang hidup dan berkarya dalam sejarah. Dalam Kristus, Allah datang mencari manusia, bukan sebaliknya. Salib menjadi simbol kasih, pengorbanan, dan keadilan. Kebangkitan-Nya adalah kemenangan atas kuasa dosa serta pengesahan ilahi atas klaim-Nya sebagai Tuhan.
-
Alkitab sebagai Firman Allah – Bukan sekadar kumpulan hikmat, tapi wahyu yang mengisahkan karya keselamatan Tuhan dalam sejarah. Diteguhkan oleh nubuatan, konsistensi internal, dan kuasa yang mengubahkan hidup orang percaya lintas generasi dan budaya.
-
Keselamatan karena anugerah – Kekristenan satu-satunya yang menyatakan: manusia tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Tidak ada perbuatan baik yang bisa menghapus dosa. Hanya anugerah Allah yang menyelamatkan melalui iman kepada Kristus, bukan usaha manusia.
-
Dosa sebagai pemberontakan total – Bukan hanya tindakan salah, tetapi sikap hati yang menolak/memberontak terhadap Tuhan. Karena itu, keselamatan bukan soal memperbaiki diri, tapi kelahiran baru, transformasi total oleh Roh Kudus.
Bagian IV: Apologetika Sebagai Tindakan Kasih
Apologetika bukan tentang memenangkan debat. Ini tentang menjawab dengan lemah lembut dan hormat (1 Petrus 3:15). Dalam dunia yang menuntut "semua agama sama", apologetika Kristen hadir sebagai suara kasih yang berkata, “Tuhan kami berbeda, dan kami ingin kamu mengenal Dia.”
Apologetika sejati adalah bentuk pelayanan kasih. Kita tidak melayani argumen, tetapi melayani sesama yang bergumul. Contoh: ketika diajak doa lintas iman, atau berada dalam keluarga dengan latar belakang kepercayaan berbeda, kita bisa menyatakan iman kita dengan tenang: “Saya akan berdoa secara Kristiani.” Tidak perlu menyerang, cukup menyatakan dengan jelas dan konsisten.
Apologetika juga hadir di tengah duka. Saat perbedaan agama muncul dalam pemakaman keluarga, cara kita merespon penuh kasih, tetap dalam iman, bisa menjadi kesaksian Injil yang nyata. Injil paling terdengar bukan ketika kita berteriak, tetapi ketika kita hadir dengan kasih dan pengharapan yang tak tergoyahkan.
Bagian V: Injil yang Menggerakkan dan Mengubahkan
Injil bukan informasi, tetapi kekuatan yang mengubah hidup. Apologetika yang sejati lahir dari kehidupan yang diubahkan oleh kasih Allah. Kita tidak menyombongkan kebenaran, tetapi membagikannya karena kita sendiri telah disentuh, diangkat, dan diperbarui oleh kasih yang menyelamatkan.
Tiga elemen penting dari iman Kristen yang menyentuh dunia:
-
Truth (Kebenaran) – Kita yakin akan kebenaran Injil. Bukan karena kita pintar, tapi karena Allah telah menyatakan diri-Nya.
-
Goodness (Kebaikan) – Kebenaran itu membawa hidup yang baik, penuh kasih dan belas kasihan.
-
Beauty (Keindahan) – Kehidupan Kristen yang sejati mencerminkan keindahan kasih Allah yang menebus dan memulihkan.
Melalui budaya, seni, relasi, pelayanan, bahkan cara kita menghadapi konflik, kita menyatakan apologetika bukan hanya dengan kata, tetapi dengan cara hidup yang transparan, jujur, dan dipenuhi oleh kasih.
Penutup
Kekristenan bukan sekadar tahu, tapi hidup. Ketika kita tahu apa yang kita imani, dan mengapa kita mempercayainya, kita tidak hanya bertahan, tapi berdiri teguh di tengah dunia yang plural. Dunia sedang menantikan orang-orang yang tahu siapa Tuhan mereka dan mengapa mereka percaya.
Apakah semua agama sama? Tidak. Dan justru karena tidak sama, kita punya panggilan untuk menyatakan kebenaran dengan kasih. Dunia membutuhkan orang Kristen yang rendah hati, tapi tidak goyah. Yang penuh kasih, tapi tidak kompromi. Yang percaya bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan, dan menyatakannya dengan sikap hormat dan rendah hati, bukan dengan kesombongan.
Catatan: Artikel ini disadur dari percakapan dalam Podcast GKM Bakudapa antara Sdr. Bima Anugerah dan Pdt. Samuel Sugiarto, co founder dari Apologetika Indonesia (API) yang membahas "Menghadapi Pluralisme Teologi". Anda dapat menonton Podcast lengkapnya di Youtube atau klik vidio di bawah ini:
Tidak ada komentar