Beranda
CXF Youtube Playlist (NR)
Ketika Neil Menginjakkan Kaki di Antartika
Juli 07, 2025

Ketika Neil Menginjakkan Kaki di Antartika

Sebuah retelling dari kisah nyata Neil deGrasse Tyson dalam video "What I Saw in Antarctica"

Sudah sejak lama Antartika masuk dalam daftar keinginan Neil deGrasse Tyson. Tapi seperti banyak impian lain, selalu ada hal yang membuatnya menunda. Sampai akhirnya, sebuah undangan datang dari organisasi “Future of Space”, yang mengatur pelayaran ke ujung selatan dunia. “Neil, mau ikut?” tanya mereka. Ia menjawab tanpa ragu, "Ya."

Dan begitulah, akhirnya sang astrofisikawan yang telah menjelajahi berbagai benua dan membicarakan luasnya alam semesta itu, kini bersiap menyambut dunia beku yang sunyi dan asing—Antartika.

Ushuaia: Gerbang ke Dunia Beku

Petualangan dimulai dari kota Ushuaia di Argentina, kota paling selatan di dunia. Kota ini bukan sekadar pelabuhan; ia adalah titik keberangkatan terakhir sebelum para penjelajah menyebrangi lautan menuju benua putih.

Neil, bersama istrinya dan putranya Travis, berangkat dari sana. Travis, yang tak pernah lepas dari GoPro-nya, merekam setiap momen. Perjalanan ini menjadi pengalaman keluarga yang langka — bukan hanya melihat tempat baru, tapi menyaksikan sisi lain dari ayah mereka: seorang ilmuwan yang kini menjadi penjelajah.

Sebagai ilmuwan kelahiran kota New York, Neil mengakui ia bukan orang yang terlalu paham geografi. "Patagonia? Kukira itu cuma merek pakaian," katanya sambil tertawa. Ia baru menyadari bahwa Patagonia ternyata adalah kawasan luas di ujung selatan Amerika Selatan, yang membentang di Argentina dan Chili, mencakup pegunungan, gletser, dan kota-kota kecil seperti Ushuaia. Tapi saat menginjakkan kaki di kota yang disebut "El Fin del Mundo" atau akhir dunia itu, Neil tahu bahwa ini adalah permulaan dari sesuatu yang luar biasa.

Melintasi Drake's Passage: Menantang Lautan

Perjalanan dari Ushuaia ke Antartika tidaklah mudah. Mereka harus melintasi Drake’s Passage—pertemuan antara Samudra Atlantik dan Pasifik yang terkenal karena keganasannya. Kapal mereka, meski tergolong modern dan kokoh, tetap terombang-ambing hebat.

"Aku melihat cakrawala bergerak dan berpikir, ada apa? Tapi ternyata bukan cakrawalanya yang goyang—kapal kami yang sedang dihantam gelombang," tutur Neil. Piring-piring beterbangan di ruang makan. Banyak penumpang hanya bisa berbaring. Di benak Neil, muncul satu pertanyaan besar: Bagaimana para penjelajah abad ke-18 dulu menaklukkan jalur ini dengan kapal kayu dan tanpa teknologi seperti sekarang ini?

Dalam Perjalanan Bersama Para Bintang

Bukan hanya Neil yang menjadi daya tarik dalam pelayaran ini. Bersamanya ada William Shatner—sang Kapten Kirk dari Star Trek yang kini berusia 93 tahun—dan Scott Kelly, astronaut NASA yang memegang rekor misi luar angkasa terlama bagi orang Amerika.

Di kapal itu mereka menggelar "StarTalk Live" yang membahas eksplorasi, dari Kutub hingga ruang angkasa. Diskusi mereka menyentuh keberanian manusia untuk menjelajah ke tempat yang tak dikenal—baik yang membeku maupun tanpa gravitasi. Shatner berbicara dengan semangat tentang bagaimana dorongan untuk menemukan hal baru adalah bagian dari DNA manusia. Sementara Kelly membagikan kisah hidup selama hampir setahun di orbit, jauh dari Bumi.

image credit: Space2Sea via Instagram | space.com

Memijak Es, Menyentuh Kehidupan

Setibanya di perairan Antartika, semua penumpang mengenakan perlengkapan lengkap: parka kuning—yaitu jaket tebal tahan angin dan air yang biasa dipakai di cuaca ekstrem—sepatu bot anti air, dan pakaian berlapis-lapis. Tapi lebih dari sekadar berpakaian hangat, mereka juga harus melewati pemeriksaan kebersihan—terutama Velcro! Ya, Velcro (perekat tempel seperti kait dan loop yang sering dipakai di sepatu atau jaket). Velcro bisa menyimpan debu dan bibit penyakit dari tempat lain yang bisa merusak ekosistem Antartika.

"Kami diminta membersihkan setiap jengkal pakaian agar tidak membawa mikroba ke tempat paling murni di Bumi," ujar Neil. Ini bukan sekadar wisata, ini adalah misi dengan tanggung jawab ekologis.

Di salah satu titik, Neil dan rombongan mendapat kesempatan menyentuh bongkahan es purba. "Hanya es biasa, tapi terasa seperti karya seni alam," katanya. Suhu di bulan Desember, yang dianggap musim panas di Antartika, berkisar antara -1°C hingga 2°C. Ternyata New York saat itu lebih dingin dari Antartika!

Bertemu Para "Warga" Asli

Antartika identik dengan "warga" asli, yaitu penguin. Di mana-mana, penguin. Mereka berenang, berjalan, bahkan mengantri melompat ke air—lalu berubah pikiran dan balik kanan. “Boleh nggak ya kita sebut ‘chicken out’ untuk penguin?” canda Neil.

Tingkah mereka yang kikuk dan bau menyengat justru membuat Neil berpikir lebih dalam. Mengapa mereka begitu ceroboh? Jawabannya: mereka tak punya predator darat. Jadi tidak ada alasan evolusioner untuk lincah di daratan. Jika suatu saat ada pemangsa darat, mungkin kita akan melihat penguin yang bisa sprint.

Dunia di Bawah Permukaan

Salah satu momen paling mengesankan adalah saat Neil masuk ke kapal selam kecil dan menyelam ke dasar lautan Antartika. Ia membawa topi Santa berwarna merah untuk eksperimen: apakah warna merah akan menghilang karena cahaya merah tidak menembus air laut?

Benar saja. Semakin dalam mereka menyelam, topi itu berubah menjadi hitam. Cahaya merah tidak sampai, hanya biru yang bertahan. Dunia di bawah laut begitu sunyi dan asing. Neil melihat makhluk aneh: bintang laut berkaki lima belas, seperti alien dari dasar es bulan Europa.

Ia tahu secara ilmiah bahwa 90% dari volume gunung es ada di bawah permukaan air. Tapi ia tetap berharap bisa melihat langsung bagian bawah gunung es raksasa. Sayangnya, kapal selam tak bisa terlalu dekat—gunung es bisa tiba-tiba terbalik, itu sangat berbahaya. "Aku percaya teori fisika, tapi tetap saja lebih seru kalau bisa melihatnya langsung."

Retakan Panjang dan Perasaan Bersalah

Dalam salah satu percobaan untuk menepi di lapisan es, kapal mereka mencoba memecah permukaan beku. Retakan kecil muncul, lalu menjalar—membelah es sejauh satu mil hingga ke pantai. Beberapa penumpang khawatir, berpikir bahwa mereka telah merusak lingkungan penguin.

Tapi penguin tidak peduli. Mereka berenang melewati retakan, meloncat keluar di sisi lain. "Penguin bukan pengguna jembatan es," ujar Neil sambil tertawa.

Refleksi di Ujung Dunia

Matahari tak pernah benar-benar tenggelam selama pelayaran ini. Hanya senja yang terus menggantung. Tidak ada malam, tidak ada bintang—ironis bagi seorang astrofisikawan yang mencintai langit.

Namun dalam cahaya temaram yang abadi, Neil merasakan sesuatu yang jarang ia temui di tempat lain: keheningan total. Di tengah lanskap es, kehidupan tetap berjalan. Penguin menjaga telur, berebut sarang, dan terus bertahan. Tanpa bantuan listrik, kendaraan, atau teknologi. Alam telah mendesain mereka untuk bertahan.

"Aku merasa seperti penyusup di dunia mereka. Mereka tidak butuh kita. Kitalah yang bergantung pada kerja sama, komunitas, dan teknologi untuk bertahan hidup."

Catatan Penulis:

Artikel ini merupakan saduran naratif berdasarkan video "What I Saw in Antarctica" oleh Neil deGrasse Tyson, dipublikasikan oleh StarTalk Media. Narasi ini disusun kembali untuk membagikan pengalaman luar biasa seorang ilmuwan dalam bentuk cerita yang lebih personal dan mengalir, agar siapa pun yang belum menyaksikan videonya bisa ikut merasakan keajaiban ekspedisi ini.

Bucket list: checked. Tapi bagi kita yang membaca kisah ini, mungkin justru baru terbuka satu daftar baru: menyentuh dunia yang belum kita kenal, dengan mata yang penuh rasa ingin tahu.


Dukung perjalanan kami membangun literasi digital inklusif berbasis nilai—untuk Sulawesi Utara dan Indonesia. Donasi Anda bantu wujudkan konten cerdas, berdaya, dan membuka peluang kerja. KLIK DI SINI untuk berkontribusi. Terima kasih atas dukungan Anda!

Tidak ada komentar