Aku masih ingat, dua tahun yang lalu, tepatnya 11 Oktober 2022, Manado lumpuh. Blackout, pemadaman listrik total, melanda kota ini. Sebagai seseorang yang hidup dari internet, kejadian itu adalah mimpi buruk. Di kantor tempat aku bekerja waktu itu, tidak ada genset. Hasilnya? Seharian kami hanya bisa duduk diam, menatap layar yang mati, mencoba terlihat sibuk, sementara pekerjaan yang sebenarnya menumpuk. Itu adalah hari di mana waktu terasa begitu lambat, penuh keluhan, dan frustrasi.
Kemarin, kenangan buruk itu kembali menghantui. Kali ini lebih parah. Pemadaman listrik terjadi selama 28 jam penuh—mulai pukul 14:00 tanggal 11 Desember hingga akhirnya listrik menyala kembali pukul 18:45 keesokan harinya. Aku tak pernah menyangka akan mengalami pengalaman yang bahkan lebih buruk daripada dua tahun lalu.
![]() |
Ilustrasi, Gambar - theblackoutreport.co.uk |
Malam Tanpa Cahaya
Malam tanggal 11 Desember menjadi malam yang berbeda di Manado. Kota yang biasanya terang dengan lampu-lampu jalan kini tenggelam dalam kegelapan. Tapi di balik semua itu, ada keindahan yang tak pernah aku sadari sebelumnya.
Subuh tanggal 12, aku terbangun karena gerah. Kipas angin tidak bisa dinyalakan, udara kamar begitu panas. Ketika aku keluar untuk mencari udara segar, aku tertegun melihat langit. Tidak ada polusi cahaya. Aku bisa melihat bintang-bintang dengan jelas, sesuatu yang jarang terjadi di kota.
Saat aku menatap langit, dua pesawat melintas, berpapasan di atas ketinggian. Lampu-lampu kecilnya berkedip, seperti dua kunang-kunang raksasa di langit malam. Tak lama setelah itu, aku melihat tiga meteor melintas, terbakar saat memasuki atmosfer bumi. Tiga bintang jatuh, langsung di depan mataku, tanpa teleskop, tanpa kamera. Hanya aku dan langit malam yang mempesona.
Aku berdiri di sana hingga pukul 02:00, menikmati pemandangan yang tidak mungkin aku lupakan. Malam itu, meski ada blackout, alam memberikan hadiah kecil yang luar biasa indah.
Chaos di Pagi Hari
Namun, pagi tanggal 12 adalah cerita lain. Manado berubah menjadi kota yang sibuk, tapi dengan cara yang tidak biasa. Di depot air isi ulang, antrean panjang orang-orang tampak memenuhi jalan. Dugaanku, mereka semua kehabisan air untuk mandi. Jadi daripada memesan air tandon, air isi ulang lebih murah, sebuah galon 19 L air mineral harga refill-nya hanya 5000 per galon dan untuk mandi cukup 2 atau 3 galon.
Di SPBU, situasinya lebih parah. Antrian kendaraan mengular, seperti ular raksasa yang tidak tahu kapan berhenti. Aku tidak tahu apakah ini karena panic buying atau ada masalah lain, tapi yang jelas, pemandangan itu bertahan sepanjang hari. Dari pagi hingga malam, antrean tidak berkurang, sampai akhirnya listrik menyala kembali.
Refleksi: Belajar dari Masa Lalu
Kejadian ini membawa aku kembali ke refleksi dua tahun lalu. Pada 11 Oktober 2022, wilayah Suluttenggo juga mengalami blackout besar-besaran. Saat itu, gangguan pada sistem kelistrikan menyebabkan lebih dari 30 gardu induk kehilangan daya. Pemulihan memakan waktu hingga 12 jam.
Tapi kali ini, durasinya jauh lebih panjang. Sebanyak 28 jam tanpa listrik, tanpa internet, tanpa kejelasan kapan semua ini akan berakhir. Menurut PLN, cuaca ekstrem menjadi penyebab utama gangguan pada sistem transmisi 150 kV. Tapi, apakah alasan ini cukup?
Di era di mana listrik menjadi bagian vital dari kehidupan, blackout berkepanjangan seperti ini bukan hanya masalah ketidaknyamanan. Ini adalah ancaman bagi ekonomi, pendidikan, bahkan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Aku teringat kasus pemadaman besar di Jakarta pada 4 Agustus 2019. Saat itu, gangguan pada transmisi 500 kV menyebabkan listrik padam di Jawa Barat, Jakarta, dan Banten. Pemadaman itu berlangsung selama lebih dari 8 jam dan melumpuhkan transportasi, komunikasi, serta aktivitas ekonomi.
Kejadian serupa yang terus berulang menunjukkan bahwa kita butuh sistem kelistrikan yang lebih kuat dan andal. Manado, sebagai kota yang terus berkembang, tidak bisa terus bergantung pada sistem yang rentan.
Harapan untuk Masa Depan
Tulisan ini adalah suara kecil dari sudut kecil Manado, kota yang aku cintai. Aku berharap pemerintah dan PLN benar-benar memikirkan langkah konkret untuk mencegah kejadian seperti ini terulang kembali.
Blackout selama 28 jam bukan hanya buruk. Itu adalah pengingat bahwa kita tidak bisa terus berjalan tanpa perencanaan dan antisipasi yang matang. Semoga ini menjadi kejadian terakhir, bukan hanya untuk Manado, tetapi untuk semua wilayah di Indonesia.
Karena di zaman ini, hidup tanpa listrik bukan lagi sekadar ketidaknyamanan. Itu adalah bentuk kemunduran. (CXF)
Tidak ada komentar